Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: AFSEL DUKUN DAN PENUTUP KUPING SAMA LARIS NYA

Rabu, 23 Juni 2010

AFSEL DUKUN DAN PENUTUP KUPING SAMA LARIS NYA

Agnes Gaobepe, perempuan Afrika Selatan yang bekerja sebagai sanggoma di Wattville, dekat Johannesburg.
Selasa,22 Juni 2010 | 10:03 WIB
Dukun Hitam Lawan Dukun Putih

Kalau teknis ditolak, dukun bertindak! Begitu kira-kira sikap dan tekad beberapa tim Afrika saat persiapan bersepak bola di Afrika Selatan. Pada hari-hari babak penyisihan ini, perhatikan baik-baik semua tim hitam Afrika—dari Aljazair sampai Afrika Selatan—apakah ada perilaku aneh? Misalnya, membawa masuk lelaki berpakaian aneh, lalu komat-kamit dan buang-buang benda dengan gerak-gerik mencurigakan.

Kejadian ini pasti tidak akan terjadi karena panitia jauh-jauh hari sudah bersikap dan mengeluarkan larangan, semua tim harus bertanding fair dan menghormati aturan main. Selain pelatih dan asisten, petugas P3K, dan pengurus teras, tidak ada yang diizinkan duduk di bangku cadangan di pinggir lapangan. Demikian juga sesudah pertandingan dan sebelum perlagaan, stadion harus disterilkan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi.

Dukun dalam konsep sistem kepercayaan masyarakat Afrika masih kental, dan ”Benua Hitam” ini dituduh-tuduh bakalan memanfaatkan black power supaya tendangan dan sundulannya bisa bikin gol dan gol. Untuk itu, beberapa media sudah membuat cerita seram soal takhayul, dukun santet, black power, dan black magic. Padahal, di dalam negeri sendiri, soal dukun dan santet-santetan sudah jamak. Soal asmara saja, ada pemeo: ”cinta ditolak, dukun bertindak”.

Kembali ke soal dukun, ulasan panjang African soccer bercerita betapa serunya campur tangan ilmu hitam dalam sepak bola Afrika. Selain jimat organ tubuh binatang yang seperti geraham tengkorak monyet, gigi gajah, tulang singa, minyak gajah, buah zakar macan tutul, bulu kuda nil, dan lainnya, tim sepak bola di Afrika juga suka sekali menggunakan jasa dukun atau ”orang pintar”.

Contoh dukun sakti dari Senegal. Konon dukun ini mengaku kemenangan tim Perancis dalam Piala Dunia 1998 di Paris berkat jampi dan doa-doanya mendukung kesaktian tim Perancis keturunan Afrika, seperti Zinedine Yazid Zidane, Thierry Henry, dan Marcel Desailly. CAF sebagai organisasi sepak bola Afrika dianggap rasis sekali sebab mereka melarang dukun ikut ke stadion, sementara pemain Eropa dibolehkan membawa rohaniwan, lalu berdoa dan membuat tanda salib.

Dukun di Afrika katanya menerima honor sampai ribuan dollar AS. Juga dukun yang mengawal spiritual tim, kini ruang gerak dan rezekinya sudah dipepet nyaris mampet. Pasalnya, tim ”Gajah”, Pantai Gading, dengan Didier Drogba dan Kolo Toure cs yang dijagokan tampil ke final kenyataannya mendapat Pelatih Sven-Goran Ericksson asal Swedia yang kulit putih. Ericksson sebagai ”dukun putih” itu benar-benar melatih keras agar ”gajah-gajah” Afrika itu membuktikan permainan yang hebat, tetapi tanpa doa dan jimat ”dukun hitam”.

Pelatih atau coach yang dibayar mahal memang gabungan ”guru olahraga, pehipnotis, motivator, tukang kompor, dan fasilitator”. Namun jangan dilupakan, pelatih, yang biasanya berusia senior dan mantan pemain juga, biasanya juga kambing hitam tim asuhannya. Pelatih sebagai orang bayaran sebenarnya juga kaki tangan manajemen organisasi sepak bola itu sendiri.

Ericksson yang intelek dan bergaya selebriti tentu saja harus bekerja keras menempa mental pemain Pantai Gading agar benar-benar siap bermental juara atau paling tidak bermental siap jadi juara. Pasalnya, menurut pakar pengamat bola, pemain seperti Drogba, misalnya, sudah punya kemampuan teknik, fisik, dan skill. Namun, kenyataannya, runner-up Piala Afrika 2010 ini ternyata tidak atau hanya sedikit memiliki dukungan psikologis untuk menjadi juara.

Semangat dan motivasinya sebagai pemain klub di luar Afrika berbeda dengan semangatnya ketika membela nama negara masing-masing. Juga perasaan ikut campurnya dukun sebagai ”pelatih” black magic power, di suatu sisi memang memberi efek, ada imbasnya. Kehadiran dukun dengan jampi dan jimat pusakanya paling tidak ikut mendukung kejiwaan pemain itu. Secara psikologis, pemain merasa dikawal dukun sehingga mereka tidak mempan disantet dan jadi bodoh dan loyo.

Sebetulnya kondisi ini sudah diketahui ”dukun coach” yang disewa beberapa tim Afrika. Ericksson katanya cukup optimistis kalau klub yang menyewanya bakalan berperan di arena Piala Dunia di Afrika Selatan. Soalnya, ini umpamanya, ya umpama saja, apabila nanti Pantai Gading masuk final, Ericksson pasti bersemangat gede-gedean. Ya benar hal itu tidak mungkin karena Swedia kan tidak ikut main di Afsel. Amanlah rasa Ericksson yang dukun putih,

Tidak ada komentar: