di 08:44:00 0 komentar
HUBUNGAN KERINCI DENGAN NAGARI DI SUMBAR
Category Archive
You are currently browsing the category archive for the 'Tambo' category.
Kerajaan Pertama di Gunung Marapi
October 25, 2009 in Mitos, Tambo | Leave a comment
1. Maharaja yang Bermahkota
Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut. Cati Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa. Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan “ camin taruih” untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi.
Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah.
Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.
2. Galundi Nan Baselo
Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat. Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai.
Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali.
Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”.
Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan “si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh.
Keturunan “Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.
3. Kedatangan Sang Sapurba
Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “datanglah ruso dari lauik”. Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam.
Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun. Read the rest of this entry »
Kerajaan Kerajaan Pendahulu Pagaruyung
October 25, 2009 in Kerajaan, Tambo | 1 comment
1. Kerajaan Pasumayan Koto Batu
Kerajaan ini disebut-sebut dalam Tambo Alam Kerinci sebagai tempat asal ninik masyarakat Kerinci. Rajanya bernama Sri Maharajo Dirajo yang merupakan kepala rombongan yang datang ke Pasumayan Koto Batu, Daerah kekuasaannya di Langgundi Nan Baselo yang masih diseputar Pasumayan Koto Batu, istrinya bernama Puti Indo Jalito dan anaknya bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian bernama Datuk Katumanggungan. Setelah meninggal dunia Sri Maharajo Dirajo digantikan oleh Datuk Suri Dirajo.
Semasa pemerintahan Datuk Suri Dirajo terjadi suatu peristiwa yaitu datang rusa dari laut yang besar sekali (sebagian menerjemahkannya sebagai peristiwa kedatangan Sang Sapurba). Atas petunjuk Datuk Suri Dirajo rusa besar tersebut dapat dijerat dan disembelih. Rakyat beriang-riang dan akhirnya tempat itu bernama Pariangan. Saat suasana beriang-riang itu Datuk Suri Dirajo menuju pada suatu tempat dan berdiri pada sebuah batu besar sambil menyandang pedang panjang. Akhirnya temat itu bernama Padang Panjang. Sebagai wakil raja di Pariangan diangkat Datuk Bandaro Kayo dan di Padang Panjang diangkek Datuk Maharajo Basa.
Di Pariangan didirikan sebuah tempat bersidang yang disebut Balai Nan Saruang. Di Balai Nan Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan yang berkaitan dengan pemerintahan adat dan kepentingan rakyat.
Semasa Kerajaan Pasumayan Koto Batu berlaku Undang-Undang yang bernama “Undang-Undang Simumbang Jatuah” Undang-undang ini sangat keras dan sebagai contoh siapa yang membunuh akan dibunuh. Apa yang diperintahkan harus dijalankan. Mungkin waktu itu tantangan sangat berat dalam membangun nagari seperti manggaluang taruko sawah ladang. Untuk itu perlu kerja keras dan undang-undang yang tegas pula.
Datuk Suri Dirajo kemudian mengangkat Sutan Maharajo Basa yang bergelar Datuk Katumanggungan dan Sutan Balun yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keduanya dianggap oleh orang Minangkabau sebagai pendiri adat Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Semasa kerajaan Pasumayan Koto Batu ini adat Minangkabau sudah disusun sedemikian rupa kemudian disempurnakan oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Read the rest of this entry »
Jalur Kedatangan Pendiri Nagari Pariangan
October 18, 2009 in Diaspora, Ekspedisi, Penelitian, Tambo | Leave a comment
Jalur Kedatangan Pendiri Pariangan lewat aliran Batang Kuantan
Jalur Kedatangan Pendiri Pariangan lewat aliran Batang Kuantan
Lukisan Marapi dilihat dari Danau Singkarak
Lukisan Marapi dilihat dari Danau Singkarak
Marapi dan Sagadang Talua Itiak
Marapi nan Sagadang Talua Itiak
Marapi dan Nampak Dari Tangah Lauik (Danau Singkarak)
Marapi nan Nampak Dari Tangah Lauik (Danau Singkarak)
Riwayat Silungkang, Pagaruyung dan Gajah Tongga Koto Piliang
October 17, 2009 in Kerajaan, Nagari, Tambo, Tarikh | Leave a comment
Uraian ini diterima dari Syamsuddin Datuk Simarajo, ex. Wali Negari Pagaruyung, Ketua K.A.N. Pagaruyung, Ketua L.K.A.A.M. Kecamatan, Kepala Bidang Negari – Negari di L.K.A.A.M. Tanah Datar dan pimpinan Istano (Istana) Pagaruyung pada tanggal 6 / 11 dan 24 / 12 1984.
Sebelum pemerintahan Minangkabau berkedudukan di Pagaruyung, pusat pemerintahan bertempat di Bungo Setangkai, yang mengendalikan pemerintahan, disamping rajo adalah Langgam Nan 7, waktu itu Basa 4 Balai belumlah ada. Salah satu dari Langgam yang 7 adalah Gajah Tongga Koto Piliang. Yang memegang jabatan itu adalah Datuk Pahlawan Gagah dari Silungkang dan Malintang Lobieh Kasatian dari Padang Sibusuk. Jabatan/pangkat ini adalah jabatan/pangkat untuk Negari, bukan suku. Negarilah yang menentukan siapa yang akan memegang jabatan/pangkat itu.
Gajah Tongga Koto Piliang ini adalah :
* Orang Gadang bermandat penuh
* Asisten Pribadi Raja
* Dewan pertimbangan
* Penasehat (diminta atau tidak diminta harus memberikan pendapat pada Rajo dan Langgam Nan Tujuah)
2.
Riwayat Negeri Silungkang
Negeri Silungkang ini didiami semenjak abad keenam sebelum masehi yang berarti sampai sekarang telah berumur lebih kurang 2500 tahun. Waktu itu penduduk bermukim belumlah ditempat yang sekarang tetapi adalah diatas bukit-bukit sekitarnya. Nama Silungkang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “lowongan batu yang tinggi”. Dari atas bukit-bukit yang tinggi inilah orang meninjau jarak dan bersebarlah sebahagiaannya dan terjadi/berdiri pulalah negeri-negeri disekitarnya. Lunto, Kubang dan Padang Sibusuk waktu itu masih satu dengan Silungkang.
3.
Menurut keterangan yang diterima dari Monti Rukun Padang Sibusuk, niniek orang Silungkang dan Padang Sibusuk turun langsung dari Pariangan Padang Panjang. Tempat yang mula-mula didiami adalah Tak Boncah. Dari Tak Boncah ini dibagilah badan. Serombongan pergi ke Silungkang dan serombongan lagi turun ke Padang Aka Bulu yang kemudian bertukar nama jadi Padang Bulu Kasok dan semenjak pertempuran dengan pasukan Aditiawarman ditukar namanya menjadi Padang Sibusuk.
Adapun rombongan yang turun ke Silungkang dipimpin oleh Monti-monti sedangkan yang turun ke Padang Aka Bulu (Padang Sibusuk) dipimpin oleh Penghulu-Penghulu. Di Silungkang Monti-monti inilah yang dijadikan Penghulu. Waktu hal ini kami tanyakan, dijawab oleh beliau (Sjamsuddin Datuk Simarajo) bahwa keterangan itu tidaklah benar karena :
1. Alam takambang membuktikan yang Silungkang lebih dahulu adanya dari Padang Sibusuk.
2. Silungkang telah didiami semenjak abad keenam sebelum Masehi. Waktu itu Kerajaan Minangkabau belum punya susunan seperti sekarang. Belum ada yang empat jinih. Tegasnya belum ber Monti.
3. Padang Sibusuk bernama Padang Sibusuk adalah semenjak negeri ini didiami dan pada abad ketiga sebelum Masehi bernama Silungkang telah menjadi Gajah Tongga Koto Piliang, sedangkan pertempuran dengan Aditiawarman itu terjadi pada abad ketiga belas.Nama Padang Sibusuk ini diambil dari/karena di Padang banyak tumbuh rumput Sibusuk.Kejadian pertempuran dengan Aditiawarman itu memang benar dan pengaruhnya adalah menambah populernya nama Padang Sibusuk itu. Keterangan ini juga kami terima dari H. Jafri Datuk Bandaro Lubuk Sati dengan keterangan yang sama di Istano Pagaruyung pada tanggal 24 Desember 1984.
H. Jafri Datuk Bandaro Lubuk Sati ini adalah pegawai kantor Gubernur Sumatera Barat yang ditunjuk untuk mengurus Istano Pagaruyung. Beliau telah mendapat bintang dan gelar Datuk Derjah Setia Negari dari kerajaan negeri Sembilan Malaysia karena masalah Adat.
4.
Istano (Istana) Pagaruyung gonjongannya adalah sebelas buah. Ini melambangkan perangkat pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung yang terdiri dari Basa 4 balai dan Langgam yang 7. Karena Silungkang – Padang Sibusuk adalah salah satu dari Langgam yang 7, maka berarti bahwa salah satu dari gonjongnya itu adalah Silungkang – Padang Sibusuk (Gajah Tongga Koto Piliang).
Didalam Istano (Istana) Pagaruyung itu akan diperbuat 11 (sebelas) buah kamar (bilik). Sebuah dari kamar itu nantinya akan diperuntukkan untuk Gajah Tongga Koto Piliang (Silungkang – Padang Sibusuk).
5.
Beliau (Sjamsuddin Datuk Simarajo) berpesan : “Kami dari Istano Pagaruyung mengharapkan agar Gajah Tongga Koto Piliang mulai menyusun badan dari sekarang siapa orangnya yang akan mewakili Gajah Tongga Koto Piliang dalam peresmian Istano itu nantinya, seterusnya yang akan menempati kamar tersebut. Setelah tersusun akan segera kami kokohkan atas nama Kerajaan Pagaruyung”.
6.
Kami dari rombongan yang datang dari Silungkang (yang menerima uraian tersebut) mengusulkan agar : “Supaya pengurus Istano Pagaruyung mengusahakan pula mengadakan pertemuan antara kami Langgam yang Tujuh”. Usul ini beliau terima dan beliau berjanji akan mengusahakannya.
Demikian garis besarnya curaian yang kami terima.
Kami yang menerima curaian tersebut :
1. H. Kamaruzzaman : Datuk Rajo Intan
2. Arief Jalil : Datuk Mandaro Khatib
3. Rasyid Abdullah : Datuk Rangkayo Nan Godang
4. Izhar Harun : Datuk Rajo Nan Gadang
5. H. Nurdin Muhammad : Datuk Mangkuto Sati
Naskah ini diambil dari arsip Ketua Kerapatan Adat (KAN) Alm. Datuk Rangkayo Nan Godang
Yang Menyalin : H. Nazar Syamsuddin
Sumber : Bulletin Silungkang, No. 003/BSM/MAR/1999
http://munirtaher.wordpress.com/2007/05/15/gajah-tongga-koto-piliang-silungkang-%E2%80%93-padang-sibusuk/
Asal Usul Sawahlunto
October 17, 2009 in Mitos, Nagari, Silsilah, Tambo | Leave a comment
Serangan Hantu Topan Kalahkan Raja Sitambago
Alkisah, lebih kurang tahun 1600 Masehi, ada sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana, rakyatnya hidup rukun dan damai.
Kerajaan kecil tersebut bernama Kerajaan Sitambago, sesuai dengan nama rajanya Sitambago. Daerah kekuasaannya di sebelah utara berbatas dengan nagari Kolok, di sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Buar / Koto Tujuh, di sebelah selatan berbatas dengan nagari Pamuatan dan di sebelah barat berbatas dengan nagari Silungkang dan nagari Kubang.
Kerajaan Sitambago mempunyai pasukan tentara yang kuat dan terlatih. Pusat kerajaan Sitambago berada di sebuah lembah yang dilalui oleh sebuah sungai yang mengalir dari Lunto, pusat kerajaan Sitambago tersebut diperkirakan berada di tengah kota Sawahlunto sekarang. Sudah menjadi adat waktu itu, nagari-nagari dan kerajaan-kerajaan berambisi memperluas wilayahnya masing-masing, memperkuat pasukannya dan menyiapkan persenjataan yang cukup seperti tombak, galah, keris, parang, panah baipuh (panah beracun) dan lain-lain, senjata tersebut digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk mempertahankan diri apabila diserang.
Di Silungkang / Padang Sibusuk, pasukan Gajah Tongga Koto Piliang disamping mempunyai senjata tombak, keris, galah, parang dan panah juga punya senjata yang tidak punyai oleh daerah lain, yaitu senjata api SETENGGA, senjata api standar Angkatan Perang Portugis. Orang Portugis yang ingin membeli emas murni ke Palangki harus melalui Buluah Kasok (Padang Sibusuk sekarang) dan berhadapan dengan Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang terlebih dahulu, entah dengan cara apa, senjata api SETENGGA lengkap dengan peluruhnya berpindah tangan ke Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang.
Guna memperluas wilayah, diadakanlah perundingan antara Pemuka Nagari Silungkang / Padang Sibusuk dengan pemuka Nagari Kubang untuk menyerang kerajaan Sitambago, maka didapatlah kesepakatan untuk menyerang kerajaan Sitambago tersebut, penyerangan dipimpin oleh Panglima Paligan Alam. Strategi penyerangan diatur dengan sistim atau pola pengepungan, dimana tentara Silungkang / Padang Sibusuk mengepung dari daerah Kubang Sirakuk dan tentara Kubang dari jurusan Batu Tajam dan dataran tinggi Lubuak Simalukuik, dengan sistim atau pola pengepungan tersebut akan membuat tentara Sitambago tidak dapat bergerak dengan leluasa. Read the rest of this entry »
Gajah Tongga Koto Piliang dan Gajah Tunggal Lubuk Jambi
October 17, 2009 in Kerajaan, Ketatanegaraan, Tambo | 4 comments
Dalam Pemerintahan Rajo Nan Tigo Selo Kerajaan Pagaruyung, Lareh Koto Piliang dikenal Langgam Nan Tujuah (Tujuh Daerah Istimewa) yaitu :
1. Sungai Tarab Salapan Batu, disebut Pamuncak Koto Piliang (Pemimpin Langgam Nan Tujuah)
2. Simawang Bukik Kanduang, disebut Perdamaian Koto Piliang (Juru Damai Sengketa antar Nagari)
3. Sungai Jambu Lubuak Atan, disebut Pasak Kungkuang Koto Piliang (Keamanan Dalam Negeri)
4. Batipuah Sepuluh Koto disebut Harimau Campo Koto Piliang (Panglima Perang)
5. Singkarak Saniang Baka, disebut Camin Taruih Koto Piliang (Badan Penyelidik)
6. Tanjung Balik, Sulik Aia, disebut Cumati Koto Piliang (Pelaksana Hukum)
7. Silungkang, Padang Sibusuak, disebut Gajah Tongga Koto Piliang (Benteng Selatan)
Disamping Langgam Nan Tujuah, nagari-nagari lain yang termasuk Lareh Koto Piliang adalah Pagaruyuang, Saruaso, Atar, Padang Gantiang, Taluak Tigo Jangko, Pangian, Buo, Bukik Kanduang, Batua, Talang Tangah, Gurun, Ampalu, Guguak, Padang Laweh, Koto Hilalang, Sumaniak, Sungai Patai, Minangkabau, Simpuruik, Sijangek. Daerah-daerah ini berada di bawah koordinasi Basa Ampek Balai
Gajah Tongga Koto Piliang
Langgam Nan Tujuah Koto Piliang ini merupakan Pembantu Utama dari Rajo nan Tigo Selo dibawah koordinasi Basa Ampek Balai. Gajah Tongga Koto Piliang ini adalah Panglima wilayah selatan dalam alam Minangkabau. Di bawah pimpinan Gajah Tongga Koto Piliang inilah pasukan hulubalang Minangkabau dapat mengalahkan dan menghancurkan serangan dari pasukan Singosari yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu I pada tahun 1276 Masehi. Pertempuran besar-besaran ini terjadi di suatu lembah sempit yang pada waktu itu dikenal dengan Lembah Kupitan dan Sungai Batang Kariang. Karena banyaknya mayat-mayat bergelimpangan dan tidak sempat dikuburkan sehingga menimbulkan bau yang sangat busuk sehingga tempat itu dan sekitarnya dikenal kemudian dengan nama Padang Sibusuak. Perlu juga dicatat para peristiwa pertempuran besar-besaran tersebut muncullah hulubalang muda yang dengan gemilang dan tangkasnya membantu Gajah Tongga Koto Piliang dalam mengalahkan pasukan Singosari. Hulubalang muda itu adalah Gajah Mada yang dikenal kemudian dengan Maha Patih Kerajaan Majapahit.
Gajah Tunggal Lubuk Jambi
Di wilayah Riau dan Jambi daerah kekuasaan Gajah Tongga Koto Piliang sekarang berada dalam wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau. Intinya jabatan Gajah Tongga ini berfungsi sebagai armada penghadang serangan terhadap wilayah Minangkabau (dalam hal ini Kerajaan Pagaruyung) yang ditempatkan di pintu-pintu masuk utama Alam Minangkabau, yaitu di pintu masuk Sungai Batanghari (wilayah Sungai Dareh dan Pulau Punjung) dan pintu masuk Sungai Inderagiri (wilayah Kuantan).
Diposkan oleh RADAR JAMBI di 08:38:00 0 komentar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar