Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: BISNIS ESEK-ESK DI JAMBI DAN FOTO NYA

Senin, 08 November 2010

BISNIS ESEK-ESK DI JAMBI DAN FOTO NYA

JAMBI GLOBAL


Pijat Tradisional, Sebulan Raup Rp 30 Juta

MAAF FOTO NYA LAGI DI CETAK BELUM JADI... Bisnis prostitusi makin marak di Jambi. Modusnya bermacam-macam. Mulai dari pijat tradisional, salon plus karaoke, dan perawatan tubuh. Untung yang diraih pun sangat menggiurkan. Bisnis panti pijat tradisional misalnya. Sebulan, pengusaha bisa meraup untung berkisar Rp 30 juta.

Salah satu panti pijat tradisonal di kawasan Simpang Gado-gado, Payoselincah, Jambi Timur, siang kemarin (5/11) terlihat sepi. Hanya satu dua kendaraan roda dua parkir di tempat itu.

Dari seorang pemijat, Mawar (25) –bukan nama sebenarnya--, diketahui bahwa bisnis panti pijat cukup menggiurkan. Dia mengaku, dalam satu bulan bisa memperoleh pendapatan berkisar Rp 18 juta. “Kadang dalam sehari bisa sampai 10 tamu. Tapi kalau lagi sepi, ya, bisa tiga atau empat tamu,” ungka gadis manis itu.

Tiap tamu, dikenai biaya kamar dan tips untuk pemijat. Biaya kamar Rp 50 ribu per jam, belum termasuk minuman. Jika ditambah minuman, rata-rata Rp 60 ribu yang harus dikeluarkan seorang tamu satu memijat di tempat itu.

Jika sudah memijat, tamu seringkali memberi tips kepada pemijat. Besarnya bervariasi. Biasanya, minimal Rp 50 ribu. Ada juga pemijat yang bisa mendapat Rp 200 ribu dari seorang tamu. Cuma, termasuk “jasa plus” yang telah diberikan kepada sang tamu.

Di panti pijat itu, ternyata bisa juga dipakai sebagai tempat esek-esek. Jika cocok harga, maka tamu bisa diberi servis lebih. “Biasanya cepek (Rp 100 ribu, red) sekali main. Tapi kalau mau lebih, boleh,” ujarnya.

DK (30), seorang pengelola panti pijat tradisional kawasan Simpang Gado-gado Payoselincah, mengaku usaha itu sudah lama digelutinya. Keuntungannya lumayan. Namun, dia menolak membeber berapa sebenarnya keuntungan yang dia raup tiap bulan.

Di panti pijat lain, di kawasan Kebun Handil Kotabaru, juga berlangsung praktek esek-esek di balik usaha pijat tradisional itu. Tarifnya sama, Rp 100 ribu sekali “main” dan Rp 60 ribu satu jam pemakaian kamar.

Fasilitasnya cukup lengkap. Tiap kamar disediakan dipan ukuran 3, pintu dari tirai tebal, plus air conditioner (AC). Rp 60 ribu sudah cukup untuk beristirahat satu jam di tempat itu.

Melati (26) –juga bukan nama sebenarnya—mengaku, baru dua bulan kerja sebagai pemijat di panti pijat itu. Dalam satu hari, rata-rata dia bisa menerima tamu sebanyak tiga sampai empat orang. Jika sepi, paling seorang.

Hampir semua tamu, katanya, menginginkan layanan plus-plus. Soal layanan itu, dia tak mematok harga. Biasanya, kata dia, Rp 100 ribu per sekali main.

Dalam sehari, menurut Melati, tamu yang datang ke panti pijat tempat dia bekerja rata-rata 20-25 orang. Diasumsikan, jika seorang tamu membayar Rp 60 ribu, dikalikan 20 tamu, itu berarti pengelola bisa meraup untung sebesar Rp 1,2 juta. Dikalikan lagi satu bulan, keuntungannya mencapai Rp 30 juta.

“Itu kotor. Kita kan harus bayar ini-itu, termasuk bayar biaya keamanan,” kata seorang penjaga panti pijat.

Jambi Independent meneruskan penelusuran ke sebuah usaha panti pijat yang berlokasi di seputaran Pasar Kota Jambi. Panti pijat tersebut tidak terkesan seperti panti pijat yang menawarkan layanan plus. Ketika memasuki tempat itu, dua orang resepsionis cantik menyapa dengan ramah.

Selanjutnya mereka akan menyodorkan beberapa album berisi foto wanita terapis atau tukang pijat. Ada puluhan foto wanita di dalam album tersebut.

Ruangan panti pijat di sana terkesan dibuat agak remang-remang dengan lampu berwarna kuning dan wangi aroma terapi. Ketika berada di ruang pijat, pengunjung diberikan semacam celana menyerupai celana boxer. Celana ini disebut dengan celana tisu, karena sangat tipis dan terlihat transparan.

Untuk mendapatkan layanan plus, si pemijat memang tidak menawarkanya secara langsung, namun tergantung inisiatif pelanggan. Jika pelanggan meminta, maka akan mendapat respons dari si pemijat dengan mengatakan tergantung bayaran serta kesepakatan.

Seorang pemijat, sebut Anggrek (20) –juga bukan nama sebenarnya--, mengaku berasal dari Jawa dan baru satu tahun berada di Jambi. Dari dia diketahui, tarif pijat biasa yang dikenakan di tempatnya berkisar Rp 40 ribu. Rp 100 ribu untuk yang ber-AC. Jika ditambah dengan pijat plus, harus merogoh kocek Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu.

(PAYO SIGADUNG)

ANTARA TRAFFICKING DAN KEBUTUHAN EKONOMI

Payo Sigadung alias Pucuk, sebagai lokalisasi pekerja seks komersial (PSK), sudah beroperasi sejak lama. Para pekerja Pucuk berasal dari berbagai daerah dalam Indonesia. Ada yang datang karena kemauan sendiri, ada pula yang dipaksa.
Kasus penangkapan pelaku trafficking (perdagangan manusia) di Pucuk kembali membuka tabir gelap di lokalisasi itu. Dua korban segera dikembalikan ke tempat asal masing-masing oleh pihak berwajib, pelakunya diproses hukum.

Padahal, di Pucuk, mencari korban trafficking tergolong sulit. Apalagi di lokasi itu, antara PSK korban trafficking atau karena kemauan sendiri sulit ditentukan.

Jambi Independent pada Rabu (30/12) siang kembali mendatangi Payo Sigadung. Siang itu suasana di Pucuk sepi. Tak terlihat aktivitas warga. Rata-rata pintu rumah tertutup rapat, lampu luar masih terlihat menyala.

Beberapa saat tampak seorang wanita keluar dari bagunan ruko bertingkat dua yang dijadikan bar. Mengenakan celana pendek dan baju seadanya, rambut acak-acakan, wanita itu keluar. Wajahnya tampak seperti orang baru bangun tidur. “Masih banyak anak-anak yang tidur,” ungkapnya.

Tak jauh dari tempat wanita itu, terlihat dua wanita yang duduk di depan pintu rumah. Dari penampilan kedua wanita yang mengenakan baju minim itu, bisa ditebak keduanya adalah PSK yang bekerja di sana. “Kalau mau cari mami, sekarang lagi keluar belanja,” ungkap seorang PSK bernama Mila.

Mila adalah PSK asal Jawa Barat. Dia datang ke Jambi tiga tahun lalu. Sepengakuannya, ke Jambi dan bekerja sebagai PSK merupakan keinginan dia sendiri. Tidak ada unsur paksaan atau penipuan dari pihak pelaku trafficking.

“Kalau bicara dosa atau tidak, itu urusan lain. Yang jelas suatu saat nanti saya tidak di sini lagi dan ingin mencari pekrerjaan lain, kan gak mungkin selamanya begini,” ujar wanita berusia 28 tahun itu.

Mila bercerita, awalnya dia terjun ke dunia gelap itu karena melihat beberapa teman sekampung berhasil meningkatkan ekonomi keluarga. Walaupun belum berlebihan, setidaknya mereka tidak miskin dan susah. Tahu begitu, Mila yang sudah janda itu mendekati beberapa rekannya. Lantaran tidak kuat menahan penderitaan menghidupi satu anak, dia pun meminjam uang kepada temannya untuk berangkat ke Jambi.

Berbekal modal pas-pasan, Mila berangkat ke Jambi bersama rekannya. Di Jambi, Mila dikenalkan dengan seorang germo di Pucuk. “Dari Jawa naik mobil langsung ke sini,” kenangnya.

Dalam sehari, Mila bisa menabung uang sebesar Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Sementara di kampung, mustahil dia bisa menghasilkan uang sebesar itu. Jangankan sehari, sebulan saja belum tentu Mila bisa mendapatkan uang senilai itu. Itulah yang membuatnya betah sebagai PSK hingga sekarang. “Kalau pulang delapan bulan sekali,” katanya.

Mimi, PSK asal Jawa, justru mengaku sebaliknya. Dia dipaksa. Tapi bukan oleh pihak tertentu yang memperdagangkan perempuan, tapi oleh kondisi keluarganya sendiri. Keluarganya berutang kepada seorang germo.

Untuk menebus utang, dia terpaksa bekerja sebagai PSK pada germo yang memberi utangan tersebut. “Ini kejadiannya di Jawa sana. Awalnya memang dipaksa melayani orang,” katanya.


Setelah utang orangtuanya dianggap lunas, Mimi dibebaskan. Namun rasa malu dan hina membuat Mimi putus asa. Setelah keluar dari cengkeraman germo di kampung, Mimi bertemu seorang PSK asal Jambi dan menawarkan kerja di Jambi. “Sudah telanjur begini, ya jalani saja,” katanya santai.

Pemilik Putri Ayu Bar, Yanti, menuturkan, kedatangan wanita PSK ke lokasi beragam. Namun kebanyakan datang dengan kemauan sendiri. Ada yang karena ekonomi di kampung halaman susah atau sudah lebih dulu jadi PSK di tempat lain.

Soal adanya penipuan terhadap beberapa gadis yang diiming-imingi untuk bekerja di restoran, Yanti tak menampik. “Sebagian mungkin ada yang seperti itu. Pokoknya macam-macam. Mereka yang datang kadang dibawa orang, bahkan orangtuanya sendiri yang datang mengantar anaknya dari Jawa sana,” ujar Yanti, tenang.

Selain itu, PSK di Pucuk kebanyakan bukan pendatang baru. Mereka rata-rata berprofesi sebagai PSK di tempat lain. Di tempat baru, para PSK mengaku senang dapat pelanggan baru dan dianggap barang baru oleh pelanggan. “Ada pendatang lama dioper ke sini,” jabarnya.

Menariknya, bisnis esek-esek itu tak ubahnya gurita dengan banyak tangan. Germo-germo yang yang ada di satu lokalisasi sebagian kenal dengan germo yang ada di daerah lain, seperti di Sumatera Utara dan daerah lain. Para germo bisa bertukar anak buah untuk membuat suasana baru di tempat usaha mereka.

Namun di tempat Yanti, para PSK tidak terikat. Rata-rata mereka adalah orang Jambi sendiri yang setiap saat bisa pulang dan datang kembali untuk bekerja. “Kalau di sini mereka boleh pulang. Kapan mau datang lagi, silakan. Kami hanya ambil sewa kamar setiap ngamar,” katanya.

Ada empat orang yang tetap bekerja di Putri Ayu Bar. Sang pemilik hanya mengambil sewa kamar Rp 50 ribu per transaksi. “Kalau soal harga, terserah masing-masing PKS. Saya hanya ambil sewa kamar,” jelasnya. Sementara di tempat lain, kebanyakan mereka punya kontrak. Soal itu, Yanti tidak banyak cerita. “Setiap tempat berbeda,” tandasnya.

Tidak ada komentar: