Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: POLITISI DITANGKAP KARNA MENGANCAM WARTAWAN

Senin, 15 November 2010

POLITISI DITANGKAP KARNA MENGANCAM WARTAWAN

INDONESIA GLOBAL
ANGGOTA pers boleh bangga karena UU Jurnalistik melindunginya dalam menjalankan tugas jurnalisik. Di Inggris, seorang politisi dari Partai Konservatif ditangkap akibat menuliskan komentar bernada ancaman terhadap seorang jurnalis surat kabar Independent, asal London.

Alasan pengancaman itu karena jurnalis Yasmin Alibhai-Brown, mengkritik politisi Inggris seputar kebijakan mereka terkait Hak Asasi Manusia, dan juga perempuan.

Terkait ancaman yang dilakukan seorang politisi Inggris terhadap seorang Jurnalis di akun Twitter-nya, Wina Armada Sukardi, Ketua Komisi Hukum dan Perundangan Dewan Pers menuturkan, terhadap pers nasional tidak boleh ada ancaman dari pihak manapun.

“Saya tidak tahu persis mengenai kasus ini. Akan tetapi, kalau di Indonesia terjadi kasus serupa, aturannya sudah ada dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 Pasal 4. Aturan itu menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran,” ucap Wina, MinggU (14/11/2010).

Sensor di sini, telah diperluas. Jika dahulu UU hanya mencakup sebagian atau seluruh materi siaran pra produksi, kini diperluas menjadi semua tindakan dan ucapan yang sifatnya mengancam dari media manapun. “Jika ada yang melanggar, maka ia akan dikenai ancaman 2 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah,” ucapnya.

Selain itu, kata Wina, di dalam UU Pers Pasal 8 juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum dari UU ITE dan KUHP. “Kalau hal serupa terjadi di Indonesia, maka pelaku dapat dikenai hukuman,” ucapnya.

Lebih lanjut Wina menjelaskan, UU Pers bukan merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses jika ada aduan terlebih dahulu melainkan delik umum. “Tanpa adanya aduan dari pihak lain, jika ditemukan pelanggaran, dapat langsung ditindak,” ucapnya.

Menurut Agus Sudibyo, yang juga anggota Dewan Pers, yang harus digarisbawahi adalah bahwa media sosial seperti Twitter di Indonesia belum jelas, apakah ia merupakan ruang publik, ruang komunitas, atau ruang pribadi.

“Sebaiknya, di luar masalah teknologi, perbedaan pendapat itu harus diselesaikan dengan pendapat juga dan dilakukan secara beradab. Jangan dengan kekerasan,” kata Agus. “Argumentasi sebaiknya dibalas dengan argumentasi juga,” ucapnya.

Tidak ada komentar: