 
 
A. Sejarah Suku Anak Dalam Kubu Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba  memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat. Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
 Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau  Orang Rimba   adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup  di Pulau Sumatra,   tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup    di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000    orang.
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau  Orang Rimba   adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup  di Pulau Sumatra,   tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup    di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000    orang.
  
  
    A. Sejarah Suku Anak Dalam Kubu Sejarah   Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga  kini tak   ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa  teori, dan   cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak  sedikit   sejarah mereka.
A. Sejarah Suku Anak Dalam Kubu Sejarah   Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga  kini tak   ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa  teori, dan   cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak  sedikit   sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.
Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.
Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.
Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang:
berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso
Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.
Terdesak penjajahan
Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.
Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.
Kembali ke atas
B. Asal Usul Suku Anak Dalam Kubu
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dipublikasikan oleh Muntholib Soetomo tahun 1995 dalam desertasinya yang berjudul ‘Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di Makekal, Propinsi Jambi’. Penyebutan Orang Rimba dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang. Sementara fakta yang sebenarnya adalah Orang Rimba tanpa akhiran ‘o’ (Aritonang).
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.
  Versi  lain  adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang  berakhir  pada  tahun 1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak  Dalam yang  di  pimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah seorang cucu  dari  Raden  Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam terkenal dengan   sebutan orang  Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajahan   Belanda.  Orang belanda disebutnya orang Kayo Putih sebagai lawan Raja   Jambi  (Orang Kayo Hitam).
Lebih lanjut tentang asal usul Suku Anak Dalam ini juga dimuat pada seri Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos, 1988 ) dengan kisah sebagai berikut:
Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Putri Selaras Pinang Masak.
Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.
  Jarak  antara kerajaan Pagar Ruyung dengan kerajaan Jambi  sangat jauh,  harus  melalui hutan rimba belantara dengan berjalan  kaki. Perjalanan  mereka  sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka  sudah mulai menurun   sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis,  mereka sudah   kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk  kembali ke   kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka  bermusyawarah   untuk mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk  menghindarkan  rasa  malu, mereka mencari tempat tempat sepi dan jauh ke  dalam rimba  raya.  Keadaan kehidupan mereka makin lama makin  terpencil, keturunan  mereka  menamakan dirinya Suku Anak Dalam.
Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.
  Tentang  Suku Anak Dalam ini, Ruliyanto,  Wartawan Tempo (Tempo, April  2002)  menulis bahwa sejumlah artikel  terakhir menyebutkan orang rimba   merupakan kelompok melayu tua lainnya  di Indonesia seperti orang Dayak,   Sakai, Mentawai, Nias, Toraja,  Sasak, Papua, dan Batak pedalaman.   Kelompok Melayu Tua merupakan  eksodus gelombang pertama yunani (Dekat   Lembah Sungai Yang Tze di Cina  Selatan) yang masuk ke Indonesia selatan   tahun 2000 sebelum masehi.  Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan   ketika kelompok melayu  muda datang dengan mengusung peradaban yang  lebih  tinggi antara tahun  2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan Silent trade, mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
  Senada  dengan Bernard  Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu  auf  Sumatra)  menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang  merupakan   penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan  bahwa   orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di  semenanjung   Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.
C. Karakteristik dan Kultur Suku Kubu
Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
  Ciri  fisik lain  yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang  tidak  terawat dan  berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan   mereka yang dari  kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang   terlihat kusut  karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.
Budaya Melangun
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada.
  Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama,    yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun    kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki    XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi    semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah    melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata “ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.”
Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
  Pondok   jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan dari  tanah,   jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi  alas   dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun  kering.   Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam  tanah.   Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin  hidup   kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah    meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali    menemui kelompoknya.
  Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa   dahulu kala dimana orang  yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam   waktu yang lama) ditinggalkan  oleh kelompoknya di sebuah pondok di   dalam hutan, dan kemudian ternyata  ada di antara mereka yang dapat   hidup dan sehat kembali serta pulang ke  kelompoknya. Kejadian ini yang   mengilhami meraka untuk tidak menguburkan  jenazah orang yang sudah   meninggal.
Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.
  
Seloko dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
  1.Bak emas dengan suasa .
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai).
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.
Besale
Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
  Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada   intinya upacara  besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk   mengobati anggota  yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale   lainnya berupa  bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses   pengobatan.
Kepercayaan
  Komunitas   adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai  kepercayaan   terhadap dewa, istilah ethnic mereka yakni dewo dewo. Mereka  juga   mempercayai roh roh sebagai sesuatu kekuatan gaib. Mereka  mempercayai   adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka  menjalankan   aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika  mereka melanggar   aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mantera yang  memiliki   kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi  kehidupan   mereka. Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso,  rumah   (Sudung) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah yang  berkelambu   resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu. Atinya:  Mereka (Suku   Anak Dalam) mempunyai larangan berupa pantang berkampung,  pantang   beratap seng, harus berumah beratap daun kayu hutan, tidak boleh    beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena mereka telah memiliki    ternak kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam, kijang, ruso, babi    hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau.
Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adat yang diungkap oleh Tumenggung Njawat “ Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.
Kepercayaan tradisional Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi adalah sejalan dengan faham pollytheisme yang bersifat animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya kepada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
  Sebagaimana   suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang Rimba yang  selama   hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga memiliki  budaya   dan kearifan yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan,  yang   bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat  mereka   hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat  dilakukannya   adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan  sungai   sebagai sumber air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita    cermati disini adalah bagaimana cara mereka memperlakukan sumberdaya    alam tersebut secara lestari dan berkelanjutan.
  Dalam pengelolaan   sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah  peruntukan seperti   adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor  dan benuaron.   Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang  berurutan dan   dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumber daya hutan  mereka.  Hutan  yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang  sebagai  suplai  makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar),  kemudian  setelah  ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan  ladang  yang  ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi  mereka.   Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok,  sesap   berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber    makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai    tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, bedaro,    tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor,    rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing,    Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan    tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir),    pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil    (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan    jernang.
Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
  Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari   rimba menjadi ladang kemudian  sesap, belukor dan benuaron, terakhir   kembali menjadi rimba, merupakan  warisan budaya mereka. Sehingga patut   kita cermati juga bahwa Orang  Rimba yang tergolong sebagai masyarakat   terasing, ternyata memiliki  kearifan tradisional dimana selama ini   dilupakan oleh masyarakat atau  pemerintah pusat.    
D. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal.
Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba.
Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan
yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu;
  Pertama, dengan mas kawin.
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya.
Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut.
Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara
kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya Minangkabau.
Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya
dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.
Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial.
  Temenggung adalah   pemimpin utama dalam struktur kelompok., yang  posisinya diwarisi   sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi, jika  pemimpin tidak sesuai   atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin  bisa diganti melalui   jalur “diskusi terbuka” atau forum yang bisa  dilakukan dimana mana.
E. Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu
Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya. Jika terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya. Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
1.Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat
2.Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung
4.Menti, Menyidang orang secara adat/hakim
5.Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adapt
6.Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adapt
7.Debalang Batin, Pengawal Tumenggung
8.Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat membatalkan keputusan
Kepemimpinan pemimpin Suku Anak Dalam sudah tidak bersifat mutlak. Pemimpin mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan Tumenggung sebelumnya untuk kemudian disetujui seluruh anggota. Jika sebagian besar menyetujui maka orang tersebut dapat menduduki jabatan pemimpin dan disahkan melalui pertemuan adat dalam suatu upacara.
  Jabatan Tumenggung yang   terlihat punya kekuasaan cukup besarpun masih  dibatasi oleh beberapa   jabatan lain seperti jabatan Tengganas yang  mampu membatalkan keputusan   Tumenggung. Ini menunjukkan bahwa Suku Anak  Dalam telah mengenal   suasana demokrasi secara sehat.
Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6 kelompok yang di wakili oleh Temenggung di Bukit Duabelas dewasa ini.
Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini di daerah Makekal adalah kelompok yang di Temenggungi oleh Temenggung Mukir dan Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang dipimpin oleh Temenggung Mijah, Marid, Kecik dan Jelita dan di daerah Air Hitam adalah kelompok Tarib dan Biring.
Banyak interaksi dan lintas pernikahan (cross weddings) terjadi antar kelompok, misalnya istri Temenggung Tarib punya darah Makakal dan orang kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut mengakibatkan struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama dengan kelompok lain.
  Temenggung Biring setelah pindah keluar dan menganut  agama  Islam  berganti nama dan sekarang dikenal dengan nama Pak Helmi.   Sebenarnya  anggota kelompok Biring serta anggota kelompok Tarib   terpisah. Artinya,  ada anggota yang tinggal di hutan secara tradisional   dan ada anggota  kelompok yang pindah keluar yang dapat bantuan dan   merubah kepercayaan.  Mungkin alasan memisahkan diri adalah faktor   ekonomi atau faktor  akulturasi dengan budaya pasca tradisional.
Menurut mantan Temenggung Biring, pak Helmi, struktur masyarakat terdiri dari: Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absent dia diwakili wakil Temenggung. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu.
  Pengulu adalah sebuah institusi social yang   mengurus dan memimpin  masyarakat orang Rimba. Ada juga yang bertugas   seperti dukun, atau  Tengganai dan Alim yang mengawasi dan melayani   masyarakat dalam masalah  spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat   adat dan sebagainya.
Temenggung Tarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui. Misalnya dia bertemu dengan Presiden Megawati Sukarnoputri, menjadi pewakil orang Rimba dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999 dan wakil orang Rimba untuk Dewan Aliansi Daerah untuk Aliansi Masyarakat Daerah propinsi Jambi dari periode 1999 sampai sekarang.
  Orang Rimba yang tinggal di pinggir Bukit Duabelas   berinteraksi cukup  sering dengan orang desa. Kelihatannya orang Rimba   yang tinggal lebih  didalam Bukit Duabelas tidak berinteraksi sama   sekali. Orang Rimba  sebenarnya sering memerlukan bantuan dari orang   Rimba yang bermukim di  pinggir hutan. Mereka minta bantuan untuk   mendapat barang dari pasar. 
  Maksudnya, orang Rimba yang tinggal didalam   Bukit Duabelas memesan  barang yang dijual di pasar kepada orang Rimba   di pinggir hutan, dan  diambil oleh mereka setelah barangnya sudah   didapat.
  Posisi Jenang, atau penghubung antara orang Rimba dan   pemerintah  adalah warisan dari masa lampau, waktu belum sering ada   hubungan dengan  luar. Tugas pertamanya beli barang dan jual kepada   pihak tertentu, serta  jalur komunikasi dengan luar. Kelihatannya   posisinya terkadang  disalahgunakan, itu alasan saat Jenang meninggal   posisinya tidak diisi  lagi dan orang Rimba yang sudah cukup biasa   dengan prosedur, melakukan  perundingan sendiri dengan luar    
F. Kehidupan Masyarakat Suku Kubu
Makanan
Saat ini mereka sudah banyak yang menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Beras ini mereka dapat dari membeli di dusun-dusun atau masyarakat yang datang ke lokasi mereka. Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbi-umbian yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.
  Pakaian 
  Meraka   pada umumnya tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat  kain   untuk menutupi kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat    dari kulit kayu terap atau serdang, namun karena cawat dari kulit kayu    sering menimbulkan rasa sakit akibat kutu kayu yang masuk ke dalam    kulit, sehingga mereka meninggalkannya dan beralih dengan kain yang    mereka beli di pasar melalui masyarakat umu. Jenis kain dan warnanya    bebas dan cara memasangnya disesuaikan oleh meraka sendiri. Untuk kaum    wanita sangat sulit untuk dilihat karena ada larangan, bahkan kalau dia    melihat orang luar selalu menghindar / lari. Tetapi menurut  Tumenggung   bahwa perempuan Suku Anak Dalam yang wanitanya hanya  berpakaian  menutupi  bagian pinggang saja sedangkan payudara mereka  dibiarkan  terbuka.
  Dalam hal penampilan sehari hari, mereka  memakai pakaian  cawat untuk  laki laki yang terbuat dari kain sarung,  tetapi kalau  mereka keluar  lingkungan rimba ada yang sudah memakai  baju biasa tetapi  bawahnya tetap  pakai cawat/kancut sedangkan yang  perempuan memakai  kain sarung yang  dikaitkan sampai dada.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.
  
Rumah dan permukiman
  Mereka   hidup berkelompok dalam satu wilayah, biasanya kelompok  Tumenggung   yang satu tinggal di kelompok Tumenggung yang lainnya. Walau  tetap   mengakui Tumenggung mereka yang sebanarnya.
Tempat tinggal mereka agak masuk ke dalam belukar yang lebat hutannya, tidak di tepi jalan setapak, setiap pondok ( sudung ) satu keluarga terpisah agak jauh dengan sesudung keluarga lainnya. Namun sesudung yang masuk dalam suatu keluarga misalnya untuk anak-anak mereka yang sudah besar dibuat sesudung sendiri yang tidak jauh dengan sesudung orang tuanya. Begitu juga untuk keluarga istrinya. Sesudung dalam bahasa mereka berarti rumah. Didirikan diatas batang-batang kayu bulat kecil panjang yang disusun berjajar hingga dapat digunakan sebagai alas.
G. Peralatan, Komunikasi & Seni Suku Kubu
  Nomaden   didefinisikan sebagai orang yang memiliki harta benda  minimal,   termasuk barang seni dan alat teknologi yang minimal pula.  Sebetulnya,   gaya hidup orang Rimba hampir tabu untuk memiliki atau  menambah harta   benda yang tidak termasuk kebutuhan primer atau memiliki  barangbarang   yang menyulitkan untuk berpindah-pindah.
Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Mungkin alasan itu yang menyebabkan mereka tidak merasakan adanya kecemburuan dan iri hati. Untuk memburu, membuka ladang, menebang pohon, dan lain-lain mereka memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi. Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan.
  Sebelum memiliki kain   untuk membuat cawat (kancut) orang Rimba  membuat cawat dari kulit kayu   yang dipukul-pukul hingga lembut. Sudah  lama laki-laki memakai cawat   dari kain dan perempuan memakai kain  panjang yang dikenakan dari pusar   sampai di bawah lutut atau  kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu   merupakan pakaian tradisional  orang Rimba yang memudahkan mereka   bergerak cepat di dalam hutan, karena  mereka perlu untuk mengejar   binatang buruan atau untuk menghindari dari  hal-hal yang berbahaya.
Pada umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka
tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima dengan baik.
Menyaksikan tarian, mendengarkan nyanyian, pantun atau seloka sulit sekali.
Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Seorang Rimba bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon yang tinggi.
H. Wilayah Persebaran Suku Kubu
Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka.
  Kawasan Cagar Biosfer Bukit   Duabelas adalah kawasan hidup Orang Rimba  yang dilindungi dan   ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No.  522/51/1973/1984   seluas 26.800 Ha. Ditetapkannya kawasan Bukit Dua Belas  sebagai Cagar   Biosfir, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri  atau kriteria   yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum  Man and   Biosphere Reserve Program, UNESCO seperti berikut:
1.Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2.Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3.Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis.
  4.Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan   perubahan perubahan  ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan   (Dirjen PHPA, 1993).
Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara lima kabupaten yaitu kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko-Muara Bungo-Jambi, dan lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah tengah propinsi Jambi.
  Di kawasan Cagar Biosfir Bukit  Duabelas  yang merupakan wilayah tempat  tinggal atau habitat Orang  Rimba ini ,  terdapat tiga kelompok Orang  Rimba yaitu kelompok Air  Hitam di bagian  selatan kawasan, Kejasung di  bagian utara dan timur  serta Makekal di  bagian barat kawasan. Penamaan  kelompok-kelompok  tersebut disesuaikan  dengan nama sungai tempat mereka  tinggal. Seperti  halnya masyarakat  umum, Orang Rimba juga merupakan  masyarakat yang  sangat tergantung  dengan keberadaan sungai sebagai  sumber air minum,  transportasi dan  penopang aktifitas kehidupan lainnya.  Orang Rimba  hidup dalam kelompok  kelompok kecil yang selalu menempati  wilayah  bantaran sungai baik di  badan sungai besar ataupun di anak  sungai dari  hilir sampai ke hulu.
Walaupun mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak sungai.
  Wilayah  Taman Nasional Bukit XII  memiliki beberapa tempat tinggal  lain di  kaki bukitnya, dengan Bukit  Dua Belas sebagai titik sentralnya.   Dinamakan Bukit Dua Belas karena  menurut Suku Anak Dalam, bukit ini   memliki 12 undakan untuk sampai  dipuncaknya. Di tempat inilah menurut   mereka banyak terdapat roh nenek  moyang mereka, dewa-dewa dan   hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.
Sumber :
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
 Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau  Orang Rimba   adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup  di Pulau Sumatra,   tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup    di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000    orang.
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau  Orang Rimba   adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup  di Pulau Sumatra,   tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup    di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000    orang.Menurut   tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat,  yang m   lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas.    Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan    mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat    kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan   suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara   garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang  berbeda,   yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman   Nasional  Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan   Provinsi Jambi  (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka  hidup secara  nomaden dan  mendasarkan hidupnya pada berburu dan  meramu, walaupun  banyak dari  mereka sekarang telah memiliki lahan karet  dan pertanian  lainnya.
Kehidupan   mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber  daya hutan   yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi    yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu)    yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.
Bahasa Kubu, bahasa Anak Dalam, atau bahasa Orang Rimba adalah bahasa yang digunakan suku  Kubu[1].    Persebaran penuturnya meliputi provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera   Selatan. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
- SUKU KERINCI
Suku Kerinci adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Kabupaten Kerinci, Jambi.
Kata   Kerinci berasal dari bahasa Tamil Kurinji yaitu nama bunga  kurinji   (Strobilanthes kunthiana) yang tumbuh di India Selatan pada  ketinggian   di atas 1800m. Karena itu Kurinji juga merujuk pada kawasan   pegunungan.
Suku Kerinci sebagaimana juga halnya dengan suku-suku lain di Sumatra  termasuk ras Mongoloid Selatan berbahasa Austronesia.
Berdasarkan   bahasa dan adat-istiadat suku Kerinci termasuk dalam  kategori Melayu,    dan paling dekat dengan Minangkabau dan Melayu Jambi.  Sebagian besar   suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki  beragam  dialek,  yang bisa berbeda cukup jauh antar satu tempat dengan  tempat  lainnya di  dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Untuk berbicara  dengan  pendatang  biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia  (yang masih  dikenal dengan sebutan  Melayu Tinggi).
Suku Kerinci memiliki aksara yang disebut surat incung yang  merupakan salah satu variasi surat ulu.
Sebagian penulis seperti Van Vollenhoven memasukkan Kerinci ke dalam  wilayah adat (adatrechtskring) Sumatera Selatan, sedangkan yang  lainnya menganggap Kerinci sebagai wilayah rantau Minangkabau.
Suku Kerinci merupakan masyarakat matrilineal.
Sebagaimana   diketahui dari Naskah Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua yang    ditemukan di Kerinci, pada abad ke-14 Kerinci menjadi bagian dari    kerajaan Malayu dengan Dharmasraya sebagai ibu kota. Setelah   Adityawarman menjadi maharaja maka ibu kota  dipindahkan ke Saruaso   dekat Pagaruyung di Tanah Datar.
Satu   kelompok masyarakat di dalam satu kesatuan dusun dipimpin oleh  kepala   dusun, yang juga berfungsi sebagai Kepala Adat atau Tetua Adat.  Adat   istiadat masyarakat dusun dibina oleh para pemimpin yang jabatannya    yaitu Depati dan Ninik Mamak. Dibawah  Depati ada Permenti (Rio, Datuk   dan Pemangku) merupakan gelar adat yang  mempunyai kekuatan dalam segala   masalah kehidupan masyarakat  adat.Wilayah Depati Ninik Mamak disebut   ‘ajun arah’. Struktur  pemerintahan Kedepatian:
- Depati Mudo Terawang Lidah berpusat di Desa PENAWAR
- Depati Empat Pemangku Lima Delapan Helai Kain Alam Kerinci, berpusat di Rawang;
- Depati Empat Tiga Helai Kain, berpusat di Pulau Sangkar;
- Pegawe Rajo Pegawe Jenang Suluh Bindang Alam Kerinci, berpusat di Sungai Penuh;
- Siliring Panjang atau Kelambu Rajo, berpusat di Lolo;
- Depati Gembalo Sembah Tigo Luhah Pemuncak Tanah Mendapo Semurup,berpusat di Semurup ;
- Lekuk Limo Puluh Tumbi, bepusat di Lempur;
Kekuatan   Depati menurut adat dikisahkan memenggal putus, memakan  habis,   membunuh mati. Depati mempunyai hak yang tertinggi untuk  memutuskan   suatu perkara. Dalam dusun ada 4 pilar yang disebut golongan 4  jenis,   yaitu golongan adat, ulama, cendekiawan dan pemuda. Keempat  pilar ini   merupakan pemimpin formal sebelum belanda masuk Kerinci 1903.  Sesudah   tahun 1903, golongan 4 jenis berubah menjadi informal leader.    Pemerintahan dusun(pemerintahan Depati) tidak bersifat otokrasi. Segala    maslah dusun, anak kemenakan selalu diselesaikan dengan musyawarah    mufakat.
Ninik   Mamak mempunyai kekuatan menyelesaikan masalah di dalam  kalbunya   masing-masing. Dusun terdiri dari beberapa luhah. Luhah terdiri  dari   beberapa perut dan perut terdiri dari beberapa pintu, didalam  pintu ada   lagi sikat-sikat. Bentuk pemerintahan Kerinci sebelum  kedatangan   Belanda dengan system demokrasi asli, merupakan system  otonomi murni.   Eksekutif adalah Depati dan Ninik Mamak. Legislatif  adalah Orang tuo   Cerdik Pandai sebagai penasihat pemerintahan. Depati  juga mempunyai   kekuasaan menghukum dan mendenda diatur dengan adat yang  berlaku dengan   demikian dwifungsi Depati ini adalah sebagai Yudikatif  dusun. Ini pun   berlaku sampai sekarang untuk pemerintah desa, juga pada  Zaman   penjajahan Belanda dan Jepang dipergunakan untuk kepentingan  memperkuat   penjajahannya di Kerinci.
Masyarakat   Kerinci menarik garis keturunan secara matrilineal,  artinya seorang   yang dilahirkan menurut garis ibu menurut suku ibu.  Suami harus tunduk   dan taat pada tenganai rumah, yaitu saudara laki-laki  dari istrinya.   Dalam masyarakat Kerinci perkawinan dilaksanakan menurut  adat istiadat   yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
Hubungan   kekerabatan di Kerinci mempunyai rasa kekeluargaan yang  mendalam.  Rasa  sosial, tolong-menolong, kegotongroyongan tetap tertanam  dalam  jiwa  masyarakat Kerinci. Antara satu keluarga dengan keluarga  lainnya  ada  rasa kebersamaan dan keakraban. Ini ditandai dengan adanya    panggilan-panggilan pasa saudara-saudara dengan nama panggilan yang    khas. Karenanya keluarga atau antar keluarga sangat peka terhadap    lingkungan atau keluarga lain. Antara orang tua dengan anak,    saudara-saudara perempuan seibu, begitupun saudara-saudara laki-laki    merupakan hubungan yang potensial dalam menggerakkan suatu kegiatan    tertentu.
Struktur   kesatuan masyarakat Kerinci dari besar sampai yang kecil,  yaitu   kemendapoan, dusun, kalbu, perut, pintu dan sikat. Dalam  musyawarah   adat mempunyai tingkatan musyawarah adat, pertimbangan dan  hukum adat,   berjenjang naik, bertangga turun, menurut sko yang tiga  takah, yaitu   sko Tengganai, sko Ninik Mamak dan sko Depati.
Perbedaan   kelas dalam masyarakat Kerinci tidak begitu menyolok.  Stratifikasi   sosial masyarakat Kerinci hanya berlaku dalam kesatuan  dusun atau   antara dusun pecahan dusun induk. Kesatuan ulayat negeri atau  dusun   disebut parit bersudut empat. Segala masalah yang terjadi baik  masalah   warisan, kriminal, tanah dan sebagainya selalu disesuaikan  menurut   hukum adat yang berlaku.
- SUKU BATIN
Suku Batin   adalah suku Melayu di provinsi Jambi di bagian pedalaman pulau  Sumatra,  Indonesia. Ada sekitar 72.000 orang Batin yang tinggal di  pedalaman  Sumatra  tengah bagian selatan. Mereka menuturkan bahasa   Melayu dengan  dialek Jambi. Suku Batin kebanyakan beragama Muslim,   tetapi menganut  sistem matrilineal.
 A. Sejarah Suku Anak Dalam Kubu Sejarah   Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga  kini tak   ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa  teori, dan   cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak  sedikit   sejarah mereka.
A. Sejarah Suku Anak Dalam Kubu Sejarah   Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga  kini tak   ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa  teori, dan   cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak  sedikit   sejarah mereka.Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.
Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.
Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.
Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang:
berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso
Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.
Terdesak penjajahan
Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.
Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.
Kembali ke atas
B. Asal Usul Suku Anak Dalam Kubu
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dipublikasikan oleh Muntholib Soetomo tahun 1995 dalam desertasinya yang berjudul ‘Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di Makekal, Propinsi Jambi’. Penyebutan Orang Rimba dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang. Sementara fakta yang sebenarnya adalah Orang Rimba tanpa akhiran ‘o’ (Aritonang).
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.
Lebih lanjut tentang asal usul Suku Anak Dalam ini juga dimuat pada seri Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos, 1988 ) dengan kisah sebagai berikut:
Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Putri Selaras Pinang Masak.
Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.
Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan Silent trade, mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
C. Karakteristik dan Kultur Suku Kubu
Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
Budaya Melangun
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata “ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.”
Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.
Seloko dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai).
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.
Besale
Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
Kepercayaan
Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adat yang diungkap oleh Tumenggung Njawat “ Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.
Kepercayaan tradisional Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi adalah sejalan dengan faham pollytheisme yang bersifat animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya kepada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
D. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal.
Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba.
Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan
yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu;
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya.
Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut.
Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara
kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya Minangkabau.
Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya
dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.
Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial.
E. Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu
Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya. Jika terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya. Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
1.Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat
2.Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung
4.Menti, Menyidang orang secara adat/hakim
5.Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adapt
6.Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adapt
7.Debalang Batin, Pengawal Tumenggung
8.Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat membatalkan keputusan
Kepemimpinan pemimpin Suku Anak Dalam sudah tidak bersifat mutlak. Pemimpin mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan Tumenggung sebelumnya untuk kemudian disetujui seluruh anggota. Jika sebagian besar menyetujui maka orang tersebut dapat menduduki jabatan pemimpin dan disahkan melalui pertemuan adat dalam suatu upacara.
Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6 kelompok yang di wakili oleh Temenggung di Bukit Duabelas dewasa ini.
Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini di daerah Makekal adalah kelompok yang di Temenggungi oleh Temenggung Mukir dan Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang dipimpin oleh Temenggung Mijah, Marid, Kecik dan Jelita dan di daerah Air Hitam adalah kelompok Tarib dan Biring.
Banyak interaksi dan lintas pernikahan (cross weddings) terjadi antar kelompok, misalnya istri Temenggung Tarib punya darah Makakal dan orang kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut mengakibatkan struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama dengan kelompok lain.
Menurut mantan Temenggung Biring, pak Helmi, struktur masyarakat terdiri dari: Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absent dia diwakili wakil Temenggung. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu.
Temenggung Tarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui. Misalnya dia bertemu dengan Presiden Megawati Sukarnoputri, menjadi pewakil orang Rimba dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999 dan wakil orang Rimba untuk Dewan Aliansi Daerah untuk Aliansi Masyarakat Daerah propinsi Jambi dari periode 1999 sampai sekarang.
F. Kehidupan Masyarakat Suku Kubu
Makanan
Saat ini mereka sudah banyak yang menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Beras ini mereka dapat dari membeli di dusun-dusun atau masyarakat yang datang ke lokasi mereka. Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbi-umbian yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.
Rumah dan permukiman
Tempat tinggal mereka agak masuk ke dalam belukar yang lebat hutannya, tidak di tepi jalan setapak, setiap pondok ( sudung ) satu keluarga terpisah agak jauh dengan sesudung keluarga lainnya. Namun sesudung yang masuk dalam suatu keluarga misalnya untuk anak-anak mereka yang sudah besar dibuat sesudung sendiri yang tidak jauh dengan sesudung orang tuanya. Begitu juga untuk keluarga istrinya. Sesudung dalam bahasa mereka berarti rumah. Didirikan diatas batang-batang kayu bulat kecil panjang yang disusun berjajar hingga dapat digunakan sebagai alas.
G. Peralatan, Komunikasi & Seni Suku Kubu
Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Mungkin alasan itu yang menyebabkan mereka tidak merasakan adanya kecemburuan dan iri hati. Untuk memburu, membuka ladang, menebang pohon, dan lain-lain mereka memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi. Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan.
Pada umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka
tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima dengan baik.
Menyaksikan tarian, mendengarkan nyanyian, pantun atau seloka sulit sekali.
Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Seorang Rimba bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon yang tinggi.
H. Wilayah Persebaran Suku Kubu
Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka.
1.Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2.Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3.Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis.
Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara lima kabupaten yaitu kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko-Muara Bungo-Jambi, dan lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah tengah propinsi Jambi.
Walaupun mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak sungai.
Sumber :
- Depsos RI. 1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani, Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.
- Dian Prihatini, 2007. Makalah ”kebudayaan Suku Anak Dalam”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
- Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun, Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.
- Manurung, Butet. 2007, Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta.
- Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam (Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi.
- Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung.
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar