Pesimistis terhadap seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun ini bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bukan hanya dari para pelamar. Kalangan akademisi dan pengamat pemerintahan pun tidak yakin seleksi berjalan murni, transparan dan tanpa permainan uang. Bahkan, mereka mensinyalir, indikasi ketidakberesan seleksi CPNS sudah dimulai dari proses usulan formasi ke pusat.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Politik (STIPOL) Nurdin Hamzah Jambi ini mencontohkan, bila sanak keluarga dan anggota tim suksesnya lebih banyak berlatar belakang pendidikan sarjana hukum, maka formasi CPNS yang diajukan didominasi kebutuhan tenaga sarjana hukum. “Jika memang daerah tersebut butuh tenaga hukum yang banyak, itu tidak masalah. Yang jadi masalah jika tujuannnya agar keluarganya jadi PNS,” ujarnya.
Akibat akal-akalan seperti itu, tenaga aparatur yang dihasilkan tidak berkualitas, tidak sesuai kebutuhan, dan tidak bisa mendongkrak PAD karena daya inovasinya minim.
Seharusnya, kata Rozali, pemerintah daerah dalam mengajukan usulan formasi penerimaan calon pegawai negeri sipil harus berdasarkan kebutuhan riil yang didasarkan analisis kepegawaian.
Selama ini, kata dia, masih ada daerah yang cenderung asal dalam mengajukan formasi penerimaan calon PNS. “Harus ada data dan analisis kondisi kepegawaian saat ini. Struktur organisasi seperti apa, kapabilitas masing-masing pegawai seperti apa, proyeksi pensiun seperti apa,” jelasnya.
Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum Unja ini, daerah seringkali mengajukan usulan penerimaan PNS tanpa didasari kebutuhan riil. Akibatnya, usulan yang diajukan ke pusat hanya dipenuhi sebagian. Sebaliknya, ada daerah-daerah yang memiliki idealisme tinggi dengan mengajukan penerimaan PNS berdasarkan kebutuhan riil dan mencari calon PNS dengan latar belakang pendidikan sesuai bidang yang dibutuhkan.
Dia mengatakan pola pikir kepala daerah sekarang sangat bergantung pada DAU (Dana Alokasi Umum). Caranya dengan mengusulkan formasi CPNS yang gemuk agar dapat transfer DAU dari pusat dalam jumlah besar. Padahal, DAU itu antara lain untuk menggaji PNS.
“Kondisi ini telah berlangsung lama dan tetap terjadi. Akibatnya, daerah tidak punya inisiatif untuk mengembangkan potensi daerahnya, baik SDM maupun SDA nya untuk meningkatjkan PAD,” tukasnya. Seharusnya, kata Rozali, penambahan PNS, bisa menjadi investasi bagi daerah. Bukan malah menambah beban negara.
Rektor Unja Kemas Arsyad Somad, mengatakan, kewenangan memutuskan dilakukan rekrutmen CPNS atau tidak berada di pemerintah pusat. Pemda hanya bisa menyusun kebutuhan formasi. Jika ada perekrutan, formasi itu akan diusulkan ke Menpan dan Reformasi Birokrasi. Penetapannya bisa saja tidak sesuai dengan usulannya.
Menurut dia, penyusunan formasi dilakukan dengan memperhitungkan jumlah kekurangan pegawai yang dibutuhkan setelah dilakukan penghitungan terhadap pegawai yang pensiun, meninggal dunia, mutasi masuk dan keluar. “Harapannya jumlah pegawai sesuai dengan jumlah penduduk yang akan dilayani nanti,” jelasnya.
Jika perekrutan pegawai negeri tanpa pemetaan yang jelas sangatlah membahayakan. Jumlah pegawai menumpuk tanpa mampu memberikan perbaikan kualitas layanan. “Membahayakan. Saat ini di sebagian besar daerah, 60 persen APBD habis untuk membayar pegawai. Tetapi seberapa besar kontribusi pegawai, tidak ada yang berani menjamin,” ujarnya.
Kemas juga mengkritik begitu dominannya permainan politik dalam tata kepegawaian di kebanyakan pemerintah daerah, termasuk Jambi. Selain dalam perekrutan, proses mutasi atau pergantian pejabat teras pun tidak lepas dari kebiasaan buruk semacam itu. Akibatnya, birokrasi menjadi birokrasi hipokrit yang gagal memberikan layanan berkualitas.
Menurut dia, pemda harus mulai berani bilang “cukup” atas jumlah pegawai. Dengan menggunakan pola minus growth, tenaga baru yang direkrut harus lebih sedikit dari jumlah pegawai yang pensiun.
“Pengendalian penambahan jumlah dibarengi dengan peningkatan kompetensi pegawai. Harus dibuat desain besar untuk itu,” katanya.
Sementara itu, Rektor IAIN Muktar Latif, mengatakan, perekrutan pegawai baru merupakan pintu masuk strategis bagi usaha peningkatan kualitas PNS. Oleh karena itu, seleksi dilakukan berlapis untuk memperoleh orang terbaik yang kompeten di bidangnya. Masalahnya, banyak pemda terkendala dana sehingga tidak bisa melakukan seleksi yang benar-benar ketat dan tepat.
Menurut Muktar, meski ada kebutuhan penyediaan lapangan kerja bagi pengangguran yang terus menanjak jumlahnya, perekrutan PNS tidak bisa lantas dilakukan dengan seenaknya. Kebutuhan yang riil mesti menjadi patokan. Jangan asal angkat orang, tapi tidak jelas efektivitas kerjanya.
Dia juga menyoroti buruknya perilaku pemimpin daerah yang acap mencampuradukkan jabatan karir dengan jabatan politis. Hal ini terbukti dengan maraknya praktik mutasi atau pengangkatan pejabat yang tak mengindahkan kapasitas dan tata kepangkatan.
“Kepala daerah justru banyak merusak pembinaan karir. Ini yang pantas disesalkan,” katanya.
Sebagian pelamar CPNS kebingungan membuat surat lamaran. Meski sudah ada contoh, namun kenyataannya tidak sesuai dengan yang diumumkan. Di Muarojambi, misalnya. Pada contoh surat lamaran, dalam surat permohonan harus dicantumkan kode jabatan dan kode pendidikan. Sementara dalam pengumuman formasi tidak dimuat kode jabatan dan kode pendidikan.
Dalam contoh surat permohonan lamaran yang dibuat panitia seleksi Pemkab Muarojambi, kode jabatan dan kode pendidikan dikosongkan. Inilah yang membingungkan pelamar. Karena di daerah lain tidak harus mencantumkan kode.
“Kode jabatan dan kode pendidikan itulah yang membingungkan kita. Maksudnya apa. Karena pada formasi tidak dicantumkan kode jabatan atau kode pendidikan. Yang ada nama jabatan dan kualifikasi pendidikan,” kata Lili, salah seorang pelamar kepada Jambi Independent.
Mahasiswa yang baru lulus itu berharap, panitia harus cepat mensosialisaikanya kepada para pelamar. Karena hal tersebut sangat membingungkan para pelamar. “Lantaran bingung, sampai sekarang saya belum berani buat lamaran. Takut salah, dan gugur di seleksi administrasi,” ujarnya.
“Kita berharap cepat dijelaskan oleh pemkab Muarojambi,” imbuhnya.
Tidak hanya di Muarojambi, pelamar di Kabupaten Batanghari juga banyak yang kebingungan. Karena dalam surat pengumuman penerimaan di yang dijual oleh para pedagang di halaman kantor pos dan di kantor BKD terdapat perbedaan.
Dalam syarat lamaran yang didapat dari para pedagang tidak mencantumkan fotokopi sah kartu tanda penduduk (KTP) yang masih berlaku dalam surat lamaran. Sementara data yang didapat dari BKD Batanghari harus mencantumkan fotokopi KTP. “Saya sempat bingung, makanya saya tanyakan ke kantor BKD, ternyata harus mencantumkan fotokopi KTP,” jelas Andra, salah seorang pelamar.
Selain itu, tata cara pengiriman surat lamaran melalui pos juga masih menjadi tanda tanya para pelamar. Karena ada sebagian daerah yang mewajibkan surat lamaran dikirim melalui pos setempat. Dan ada pula yang boleh melalui kantor Pos Pusat, Kota Jambi.
Sebagian mereka trauma, karena pernah gagal akibat mengirim lamaran dari kantor pos yang di luar ketentuan. Biasanya surat lamaran wajib dikirimkan melalui kantor pos yang ada di kabupaten tempat penerimaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar