Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: BENUA HITAM SEBAGAI TUAN RUMAH PANIK

Rabu, 23 Juni 2010

BENUA HITAM SEBAGAI TUAN RUMAH PANIK

Puluhan ribu warga Afrika Selatan menyambut Piala Dunia 2010 dengan gegap-gempita. Sebab, ini memiliki banyak makna.
Rabu,23 Juni 2010 | 13:31 WIB
Jalan Panjang Menuju Kesetaraan

Afrika Selatan

JOHANNESBURG, Sungguh Piala Dunia 2010 memberi hasil ironis buat tuan rumah Afrika Selatan (Afsel) dan tim Afrika lain. Ini merupakan kali pertama Piala Dunia di Benua Afrika. Namun, kesempatan ini justru tak mampu dimanfaatkan dengan baik oleh tim-tim di "kawasan hitam" ini. Bahkan, tuan rumah harus tersingkir pada babak awal.

Padahal, perjuangan Afrika untuk mengusung Piala Dunia ke benua itu begitu besar. Bertahun-tahun mereka berusaha menjadi tuan rumah, tapi baru kali ini bisa sukses di Afsel.

Kehadiran Piala Dunia 2010 di Afsel sebenarnya menjadi tonggak sejarah. Pasalnya, ini juga sebagai simbol bahwa bangsa Afrika mulai sejajar dengan bangsa lain dalam kemampuan menggelar Piala Dunia. Sebuah pesta olahraga yang tak sekadar masalah entertainment dan kompetisi, tapi juga memberi pesan ekonomi-sosial-politik yang kuat kepada dunia.

Itu pula sebabnya, Afsel membuat jargon-jargon yang menekankan bahwa Afsel pada khususnya dan Afrika pada umumnya sama dan sederajat dengan bangsa lain. Sebuah penekanan yang selalu diperjuangkan bangsa Afrika sejak lama. Pasalnya, sejak lama pula mereka selalu menjadi subordinan dan bahkan tertindas.

"Dat is hier". Begitu salah satu slogan Afsel. Maksudnya, sekarang Piala Dunia itu benar-benar di sini. Di Afrika, tepatnya di Afrika Selatan. "Tidakkah kamu merasakannya?" Pertanyaan itu sering muncul selama Piala Dunia 2010.

"Ke Nako". Itu slogan lain yang maksudnya inilah saatnya. Sebuah frase yang penuh makna dan filosofi. Frase itu juga bisa dimaknai sebagai saat Afrika untuk sejajar dengan bangsa lain. Saat Afrika harus berprestasi. Saat Afrika harus berbangga diri. Saat Afrika harus merasa percaya diri. Saat Afrika harus menegakkan kepala dan tak perlu merasa tersubordinasi.

"Orang-orang menilai Afrika tak ubahnya masyarakat terbelakang. Sekarang Anda lihat dan rasakan sendiri, bagaimana kami menggelar Piala Dunia. Apa yang kamu rasakan?" demikian tanya seorang polisi bernama Mischa di Johannesburg. Sebuah pertanyaan yang mencerminkan kegeraman dan kegemasan mereka karena selalu dianggap terbelakang.

Bahkan, setiap kali ada orang asing, warga Afsel selalu menanyakan tanggapannya tentang Afsel. Mereka ingin tahu pendapat orang lain tentang negaranya atau benuanya yang selama ini dianggap terbelakang. Mungkin sudah 10 kali Kompas.com ditanya soal perasaannya terhadap keadaan di Afsel dan Piala Dunia. Mereka hanya sekadar tahu bagaimana tanggapan orang asing kepada Afrika.

Rupanya, perasaan tersubordinasi itu masih ada, masih kental. Afsel dan Afrika pada umumnya masih terus berjuang menggapai kesetaraan itu, baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun pengakuan internasional.

Maka dari itu, ketika kita menjawab bahwa Afsel luar biasa, tak ubahnya Eropa, mereka akan sangat bangga. Namun di sisi lain, kadang ada keraguan juga. Seolah, mereka belum benar-benar percaya.

"Is it, ya?" begitu mereka balik bertanya ketika kita puji Afsel dan Afrika. Dalam bahasa Indonesia berarti, "Mosok, sih?"

Sejarah Afrika memang kelam. Dianggap terbelakang dan dieksploitasi bangsa Eropa sebagai budak, tanah mereka bahkan juga ikut dieksploitasi.

Afsel merasakan betapa subordinasi itu begitu membekas dan sakitnya masih terasa. Di Afsel, politik Apartheid benar-benar membuat warga kulit hitam dan berwarna (coloured) merasa seperti orang asing di negeri sendiri. Mereka dipinggirkan dalam segala segi, dibedakan perlakuannya dari kulit putih yang dulu berkuasa. Dan, Apartheid itu baru hilang secara resmi 16 tahun lalu. Sebuah masa penyembuhan yang terlalu singkat dibanding luka yang berabad-abad.

Lalu, Piala Dunia diharapkan akan menjadi tonggak sejarah, menegaskan betapa Afrika sudah setara. Di Afsel sendiri, Piala Dunia diharapkan menjadi tonggak pembauran semua ras. Pasalnya, ini persoalan paling krusial di Afsel.

Wajar jika kemudian pemerintah membuat slogan, "Different tribe, one pride, one win (Berbeda suku tapi satu kebanggaan dan kemenangan)."

Piala Dunia 2010 memang punya makna luas dan besar bagi Afsel dan seluruh benua Afrika. Namun, sayang secara prestasi kurang diimbangi. Afsel justru tumbang paling awal. Aljazair, Niegeria, dan Pantai Gading juga hampir tersingkir. hanya Ghana yang punya peluang berprestasi.

Sebenarnya, akan semakin sempurna jika tim-tim Afrika juga berjaya. Maka dari itu, hal ini akan menjadi pesan kuat bahwa Afrika sudah setara dengan bangsa lain.

Meski begitu, sukses Afsel menggelar Piala Dunia 2010 patut diacungi jempol. Ini sudah cukup sebagai pesan kesetaraan bangsa Afrika. Tinggal bagaimana mengejar kesetaraan di bidang lain.

Ya, pengakuan kesetaraan memang penting buat Afrika karena luka lama akibat penindasan. Dan, sekarang mereka sudah bisa berbangga karena setara.

"Ke nako Afrika." Inilah saatnya membusungkan dada.

Tidak ada komentar: