Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: MEWASPADAI UU RAHASIA NEGARA

Jumat, 18 Juni 2010

MEWASPADAI UU RAHASIA NEGARA

Mewaspadai RUU Rahasia Negara
Jumat, 23 Mei 2008 | 00:30 WIB

Agus Sudibyo

Pengesahan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP semestinya menjadi kabar gembira bagi upaya mewujudkan tata pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan kondusif bagi pemenuhan hak publik untuk tahu. Namun, belum sempat membayangkan implementasi UU KIP, kita sudah dihadapkan pada ancaman pelembagaan kebebasan informasi: rencana legislasi RUU Rahasia Negara atau RUU RN.

Pelembagaan prinsip kerahasiaan negara memang dibutuhkan dan lazim dilakukan di negara-negara lain. Namun, pelembagaan itu sebenarnya sudah dilakukan dalam 10 pasal KUHP dan dalam satu bab UU KIP. Perlukah satu undang-undang lagi untuk melembagakan kerahasiaan negara? Karena mengatur lingkup persoalan yang sama, sangat mungkin akan terjadi tumpang tindih antara UU KIP dan UU RN dalam implementasinya. Jika ini terjadi, dapat dipastikan muncul ketidakpastian hukum antara perkara-perkara yang wajib dibuka kepada publik dan perkara-perkara yang dapat dirahasiakan badan publik.

Pembalikan sejarah

Persoalan lain, tendensi pembalikan sejarah menuju pemerintahan yang tertutup dan penuh kerahasiaan sangat terasa dalam RUU RN versi pemerintah. Hanya sejenak dalam terang keterbukaan informasi, kita kembali lagi dalam bayang-bayang rezim kerahasiaan. RUU RN memberikan kewenangan sangat luas kepada badan publik untuk melakukan klaim rahasia negara atas informasi yang dikelolanya. Tidak ada mekanisme yang menyeimbangkan kepentingan birokrasi untuk merahasiakan informasi dengan kebutuhan untuk melindungi hak-hak publik atas informasi.

Pasal 4 RUU RN menentukan lingkup rahasia negara secara kategorikal semata, mencakup bidang: a. pertahanan dan keamanan negara; b. hubungan luar negeri; c. proses penegakan hukum; d. ketahanan ekonomi nasional; e. persandian negara; f. intelijen negara; dan/atau g. pengamanan aset vital negara. Perlu dipersoalkan, apakah semua informasi tentang keamanan nasional, hubungan luar negeri, atau penegakan hukum harus dirahasiakan? Terlupakan di sini bahwa perahasiaan informasi seharusnya bersifat terbatas, spesifik, dan tidak semena-mena. Harus diuji benar apa konsekuensi pembukaan suatu informasi. Apa kerugian jika suatu informasi dibuka dan mana yang lebih menguntungkan bagi publik, membuka informasi atau merahasiakannya?

Tanpa menafikan pentingnya pelembagaan kerahasiaan negara, kita juga perlu mewaspadai reduksi rahasia negara yang murni (genuine national security secrecy) menjadi rahasia negara bersifat politis (political secrecy) serta rahasia untuk kepentingan birokrasi (bureaucratic secrecy). Reduksi inilah yang selama ini terjadi tatkala kalangan pers menghadapi para pejabat publik yang secara sepihak mengklaim rahasia negara, rahasia instansi, atau rahasia jabatan atas informasi dan dokumen tertentu. Klaim- klaim ini tidak sungguh-sungguh untuk melindungi kepentingan negara, tetapi lebih untuk melindungi kepentingan birokrasi atau kepentingan politik.

Pasal karet

Praktik semacam ini justru akan dilegalkan jika RUU RN versi pemerintah disahkan. Pertama, ketentuan umum RUU RN mendefinisikan rahasia negara sebagai: ”informasi, benda, dan/ atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan.... yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional dan/atau ketertiban umum....” Tanpa batasan-batasan yang tegas, ini adalah pasal karet yang dapat digunakan pejabat publik untuk secara semena-mena mengklaim rahasia negara, menutup akses publik atas informasi tertentu.

Kedua, lingkup instansi yang berwenang melakukan klaim rahasia negara juga terlalu luas. Tidak dijelaskan pula pejabat mana pada badan-badan publik yang mempunyai otoritas melakukan klasifikasi rahasia.

Ketiga, RUU RN membentuk Dewan Kerahasiaan Negara yang berwenang membuat kebijakan-kebijakan tentang kerahasiaan negara. Dewan Kerahasiaan Negara diketuai Menteri Pertahanan, dengan anggota tetap Mendagri, Menlu, Menhuk dan HAM, Menkominfo, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kepala Polri, Kepala BIN, Kepala Arsip Nasional, dan Kepala Lembaga Sandi Negara. Keanggotaan lembaga ini hanya mencerminkan kepentingan birokrasi. Tanpa adanya perwakilan publik, sulit dibayangkan Dewan Kerahasiaan Negara akan mempertimbangkan kepentingan publik dalam perahasiaan informasi.

Substansi RUU RN dalam banyak segi bertentangan dengan semangat pelembagaan kebebasan informasi dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana tertuang dalam UU KIP. Kedudukan Dewan Kerahasiaan Negara hampir pasti menegasikan kedudukan Komisi Informasi. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali rencana legislasi RUU RN. Opsi lain, RUU RN dikembalikan kepada versi awalnya: RUU yang mengatur Persandian Negara.

Agus Sudibyo Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan

Tidak ada komentar: