Dari Bola Sampah hingga Piala Dunia
Afrika Selatan
Sepak bola bagi rakyat Afrika Selatan, terutama warga kulit hitam, seperti sebuah katarsis. Ia menjadi media hiburan, berkumpul, bersosialisasi, bahkan menyelipkan propaganda.
Sejak zaman pemerintahan Apartheid, sepak bola memang lebih lekat dengan warga kulit hitam yang tertindas. Sementara itu, warga kulit putih lebih suka dan bangga dengan olahraga rugbi dan kriket. Kalaupun ada warga kulit hitam yang bermain bola, maka mereka sangat eksklusif dan tak tersentuh kulit hitam.
Dalam kondisi kemiskinan dan tekanan yang ketat, warga kulit hitam tak kehilangan akal. Dengan lahan apa adanya dan perlengkapan apa adanya, mereka selalu berusaha bermain bola, bisa di lahan kosong, di jalanan, atau di lahan kosong.
"Sepak bola juga membudaya di sini. Hanya, kompetisi profesionalnya belum lama. Hampir setiap anak kulit hitam suka bermain bola. Tapi ya sekadar bermain dengan peralatan seadanya," kata Steve, warga Afrika Selatan.
Jika memasuki pedalaman atau berkeliling ke kampung-kampung, maka sering ditemui sekumpulan anak berman bola. Yang mengenaskan, bola yang dipakai adalah buatan sendiri. Biasanya dari sampah yang ada, bisa juga kain atau plastik yang digulung dan diikat sedemikian rupa sehingga menyerupai bola dan bisa ditendang ke mana-mana.
Namun, mereka tetap bermain dengan penuh gairah, kegembiraan, dan keasyikan luar biasa. Bahkan, mereka juga mempertontonkan keterampilan bermain yang bagus.
Begitulah anak-anak Afsel mengenal sepak bola. Mereka bisa bermain di mana saja dan kapan saja dengan rasa bahagia dan bangga. Mimpi-mimpi pun menyertai setiap tendangan, sundulan, dan lari mereka. Siapa tahu, kelak mereka menjadi bintang top dan tampil pada Piala Dunia.
Salah satu defender "Bafana Bafana", Morgan Gould, tertawa ketika ditanya hal itu. Dia juga mengaku mengalami bermain bola dengan bola buatan sendiri sewaktu kecil. Dia tak sadar kini sudah menjadi pemain top Afsel.
"Ya, ya... Aku juga pernah bermain bola plastik buatan sendiri. Itu masih kecil dan rasanya sangat bahagia," tuturnya.
Impian-impian kecil itu terus membesar. Kini, Afsel malah menjadi tuan rumah Piala Dunia. Impian sepak bola yang dulu muncul dalam permainan-permainan sederhana dengan bola buatan sendiri kini menjadi sebuah perhelatan akbar sepak bola dunia.
"Ini kebanggaan Afsel. Tak ada yang mengira sebelumnya bahwa kami bisa memboyong Piala Dunia di sini. Rakyat bangga sekaligus bahagia. Jika negara Anda jadi tuan rumah, maka Anda pasti akan merasakan kebanggaan dan kebahagiaan yang sama," ungkap Lesego Ranchu, seorang sukarelawan Piala Dunia.
Sayang, tim Afsel kurang tampil memuaskan pada Piala Dunia. Bahkan, mereka hampir pasti tersingkir setelah seri 1-1 lawan Meksiko dan kalah 0-3 dari Uruguay.
Bagi Lesego, itu sudah menjadi risiko pertandingan. Sekarang, yang terpenting, bagaimana Afsel terus menyukseskan Piala Dunia. Dengan begitu, nantinya Afsel akan dikenang dengan catatan indah dalam sejarah sepak bola.
"Kami harus sukses sebab Piala Dunia akan memberi pengaruh besar terhadap sepak bola Afsel. Apa pun prestasi "Bafana Bafana", hadirnya Piala Dunia akan memberi inspirasi, perangsang, dan penumbuh impian-impian baru," lanjut Lesogo.
Ke Nako... Piala Dunia itu sudah nyata di Afsel, tinggal dimanfaatkannya. Impian-impian yang dulu berseliweran di gang-gang kumuh atau di lahan-lahan liar kini menjadi perhelatan Piala Dunia 2010.
Dat is hier. Sekarang Piala Dunia benar-benar di sini, di Afrika Selatan; pertama di "Benua Hitam" dan diharapkan memberi banyak berkah dan manfaat buat warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar