Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: MANUSIA SUPER: PENEBAR MIMPI DI PELOSOK DESA

Minggu, 30 Januari 2011

MANUSIA SUPER: PENEBAR MIMPI DI PELOSOK DESA

INDONESIA GLOBAL

Menebar Mimpi ke Pelosok Desa
"Manusia Super"

Minggu, 30 Januari 2011 | 08:20 WIB

Erwin Puspaningtyas Irjayanti (kiri) sedang bekerja dengan laptopnya di sebuah rumah sederhana di Passau, Sendana, Majene, Sulawesi Barat, Rabu (19/1/2011). Para peserta di Majene, umumnya ditempatkan di daerah sangat terpencil yang belum memiliki saluran listrik PLN.

Anak-anak muda itu memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup nyaman dan sejahtera di kota. Namun, mereka memilih jadi guru di pelosok-pelosok dusun negeri ini. Inilah kisah kaum muda yang berkomitmen untuk mencerdaskan rakyat.

Firman Budi Kurniawan (24) memindahkan gigi sepeda motornya ke gigi satu dan menarik gas dalam-dalam. Sepeda motor bebek itu pun melaju pelan meniti jalan setapak yang menanjak hampir 45 derajat.

Suara knalpot yang tadinya menyalak tiba-tiba mengedan. Rintangan pertama dengan susah payah bisa dilalui, selanjutnya sepeda motor itu meluncur bagai roller coaster di jalan penuh batu besar.

Kami tiba satu jam kemudian di sebuah dusun tanpa listrik di tengah hutan. Di antara pepohonan hutan, berdiri rumah-rumah panggung sederhana. Inilah Dusun Beroangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, tempat Firman tinggal dan bertugas sebagai guru sejak dua bulan lalu.

Firman adalah sarjana Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung yang bersedia bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), sebuah gerakan nonpemerintah yang menantang para sarjana berprestasi mengabdi sebagai guru di daerah terpencil selama satu tahun.

Selain Firman, ada 50 sarjana berprestasi lainnya yang ditempatkan di pelosok dusun di Majene, Bengkalis (Riau), Tulang Bawang Barat (Lampung), Paser (Kalimantan Timur), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara). Mereka disiapkan secara serius agar bisa hidup di daerah terpencil. Mereka juga dibekali teknik mengajar secara kreatif.

Erwin Puspitaningtyas Irjayanti (24), sarjana dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, ditempatkan di Passau. Dusun tanpa listrik itu menjorok 5 kilometer ke dalam hutan dari jalan poros Makassar-Mamuju. Rabu (19/1) malam, kami bertandang ke sana. Suasana hutan begitu meraja. Suara kera dan lolongan anjing liar terdengar bersahutan hingga tengah malam.

Meski demikian, Wiwin—begitu dia disapa—masih menikmati beberapa ”kemewahan”. Setidaknya, di kampung itu ada sinyal telepon dan genset milik warga. Ketika genset itu dinyalakan, Wiwin bisa menumpang mengisi baterai laptop dan telepon selulernya.

”Kemewahan” itu tidak dinikmati Agung Firmansyah (24) yang bertugas di Dusun Manyamba, Majene. Sekadar untuk menelepon atau mengisi baterai, Agung harus turun gunung sejauh 6 kilometer ke permukiman di pinggir pantai melalui jalan terjal.

Persoalan lain, tidak satu pun rumah di dusun itu yang memiliki fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Alhasil, sarjana Ilmu Komputer Universitas Indonesia itu pun harus membiasakan diri bangun pada pagi buta untuk mandi di Sungai Manyamba, yang sampai awal tahun 1980-an masih dihuni buaya.

Dukun sakti

Kondisi alam hanya satu dari seabrek tantangan yang harus mereka taklukkan. Mereka juga harus menghadapi murid-murid yang tidak lancar membaca meski telah duduk di kelas III atau IV. Fasilitas sekolah juga amat minim.

Di tengah kondisi seperti itu, Firman mencoba membuat terobosan. Selasa (18/1) petang, ia mengajak muridnya di SD 33 Battutala mendaki bukit Beroangin yang curam. Di bukit itu, ia mengajar Bahasa Inggris. ”Matahari... sun, langit... sky,” kata Firman sambil menunjuk matahari dan langit yang memerah di ufuk barat.

Di kelas VI SD 27 Titibajo, Agung mengajar Matematika dengan menggunakan kartu remi sebagai alat bantu pelajaran berhitung. Pelajaran itu jadi terasa lebih mudah dan menyenangkan. Selain kartu remi, Agung kerap memanfaatkan benda-benda yang mudah ditemukan di sekitar dusun, seperti batu, pasir, kayu, sampai kompor sebagai alat peraga mata pelajaran IPA.

Tantangan lainnya, sebagian warga dusun menganggap para guru muda itu ”manusia super” yang bisa melakukan apa saja. Firman beberapa kali dimintai tolong untuk mengobati orang yang digigit anjing gila. Lain waktu, dia diminta membetulkan mesin diesel, bahkan memberi nama bayi yang baru lahir. ”Saya dikira dukun sakti, ha-ha-ha,” ujarnya.

Wiwin pernah diminta mencari cara efektif untuk mengusir babi hutan. ”Seumur-umur, baru kali ini mikirin bagaimana mengusir babi hutan,” ujarnya.

Membangun mimpi

Anak-anak muda itu sebenarnya memiliki hampir semua prasyarat untuk hidup mapan di kota besar. Mereka punya prestasi akademik yang baik, jaringan, karier, dan penghasilan sangat lumayan.

Wiwin, misalnya. Sebelumnya, ia adalah karyawan sebuah bank terkemuka. Penghasilannya per bulan belasan juta rupiah, bonus tahunan puluhan juta rupiah, dan punya kesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Semua itu dia tinggalkan demi GIM.

Peserta GIM lainnya tidak kalah hebat. Sebagian ada yang bekerja di perusahaan multinasional atau telah mendapat beasiswa ke luar negeri. Lantas, mengapa mereka rela menanggalkan itu semua?

”Saya merasa, gerakan ini cocok dengan panggilan hati saya. Saya bercita-cita menjadi kaya raya agar bisa mendirikan sekolah buat orang tidak mampu. Sekarang belum kaya sudah bisa menolong,” ujar Wiwin.

Soleh Ahmad Nugraha, pengajar muda di Dusun Lombang, Malunda, melihat, program ini memungkinkan dia belajar dari kearifan orang desa. ”Ini (pendidikan) S-2 dari alam,” ujar sarjana Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran yang menanggalkan kariernya sebagai dosen demi GIM ini.

Agung ikut GIM karena ingin hidupnya bisa menginspirasi orang lain. ”Saya ingin membangkitkan mimpi tentang masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di daerah terpencil,” katanya.

Penggagas GIM, Anies Baswedan, sepakat, mimpi untuk menjadi orang terdidik harus dibangkitkan hingga ke pelosok dusun yang keberadaannya sering kali diabaikan lantaran selama ini kita terlalu berorientasi ke kota.

”Mimpi itu penting. Ketika mereka punya mimpi jadi orang terdidik, mereka akan sekolah. Dan, kita sebagai orang terdidik punya tanggung jawab menularkan virus pengetahuan kepada mereka,” lanjutnya.

GIM memang belum banyak membuahkan hasil. Namun, setidaknya, kini, di sebuah dusun di tengah hutan Battutala, Aliman (32) bermimpi bisa menyekolahkan anak laki-lakinya hingga sarjana. ”Dia tidak boleh bodoh seperti saya,” katanya.

Sebuah mimpi yang indah....


Anak Perlu Belajar dari Pengalaman Nyata

Belajar dari pengalaman nyata bikin anak lebih mudah memahami berbagai pengetahuan.

Pengalaman menjadi guru terbaik, termasuk bagi anak-anak. Metode belajar dari pengalaman nyata lebih efektif bagi anak, karena mereka merasa lebih diyakinkan. Pengetahuan yang anak dapatkan dari pengalaman belajar langsung ini lebih mudah dicerna dan terekam dalam memorinya.

Sebagai contoh, jika ingin mengajarkan kebiasaan baik mencuci tangan pakai sabun (CTPS) sebagai bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), berikan contoh dan libatkan anak dalam pembelajaran mengenai kesehatan tubuh. Kenalkan kepada anak apa yang disebut sebagai kuman yang menempel pada tangan. Selain itu kenalkan manfaat sabun dan cara mencuci tangan yang benar. Jadikan kebiasaan CTPS sebagai rutinitas harian yang memberikan pengalaman menyenangkan.

Menurut health motivator, dr Handrawan Nadesul, metode pembelajaran afektif dalam melatih kebiasaan baik pada anak akan lebih efektif daripada menggunakan cara kognitif. Artinya belajar melalui kebiasaan bersikap atau pengalaman langsung akan lebih mengena pada anak daripada mengajarkan anak melalui teori yang mengandalkan pikiran atau sisi intelektual anak saja.

"Belajar dari pengalaman nyata lebih meyakinkan anak. Kalau masih abstrak anak sulit memahami," jelas dr Handrawan, di sela pembukaan Lifebuoy Health Institute di KidZania, Kamis (27/1/2011) lalu.

Pengalaman nyata hasil kolaborasi sabun kesehatan dan miniatur kotanya anak
Pentingnya melibatkan anak dalam kegiatan langsung yang memberikan pengalaman nyata dipahami sebagai kebutuhan oleh Lifebouy dan KidZania. Establishment terbaru KidZania di awal 2011 ini menekankan pentingnya membangun kebiasaan sehat pada anak, dengan memberikan pengalaman nyata yang unik. Memasuki Lifebuoy Health Institute di KidZania, anak akan diberikan jaket dan kacamata layaknya peneliti yang akan memasuki laboratorium.

Untuk menjaga tubuh tetap steril, anak mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, lalu mengeringkannya. Kebiasaan CTPS ini boleh jadi sudah dijalankan di rumah. Namun di sini, anak mendapatkan pengalaman langsung dibimbing oleh pendamping yang mengajarkan cara mencuci tangan yang baik dan benar. Institut kesehatan mini berukuran 60 m2 berkapasitas delapan anak ini memungkinkan pendamping untuk melatih kebiasan CTPS yang baik dan benar.

"Mencuci tangan yang baik dan benar harus dengan sabun dan air mengalir, biasanya selama 20 detik. Sebenarnya dengan menggunakan sabun yang tepat, dalam 10 detik kuman sudah mati," jelas Amalia Sarah Santi, Senior Brand Manager Lifebuoy.

Rangkaian kegiatan di institut mini ini berdurasi 20 menit. Selain mengajarkan kebiasaan PHBS, anak juga berkenalan dengan profesi peneliti. Karena di sini anak bisa belajar cara pembuatan sabun batang dan sabun cair. Yang menarik, anak juga bisa mengenali kuman yang menempel di tangan melalui glo germ yang menyerupai kuman, lalu disinari UV scanner. Dengan begitu anak bisa memahami seperti apa kuman menempel dan bagaimana caranya agar kuman mati dan tak lagi tertinggal di tangan dengan kebiasaan CTPS.

Menurut Ari Kartika, Head of Marketing Communication KidZania, konsep establishment memang ingin memberikan pengalaman langsung kepada anak, sekaligus mengenalkan berbagai profesi yang ada di kehidupan nyata.

"Saat ini sudah ada 72 establishment di KidZania dan lebih dari 100 profesi yang bisa dikenalkan kepada anak," jelas Ari kepada Kompas Female.

Pengalaman nyata di miniatur kota surganya anak-anak ini memberikan pengetahuan dan pembelajaran yang lebih menarik bagi anak. "Masih banyak profesi yang belum dikenalkan di sini," kata Ari, yang berharap tahun depan KidZania bisa menambah kapasitas ruang untuk mengenalkan lebih banyak lagi profesi dan bekerjasama dengan beragam sponsor untuk memberikan pengalaman nyata pada anak-anak.

Status Tak Ada, Digaji pun Belum

Ketiga guru di sekolah itu merangkap sebagai pengajar dua sampai tiga kelas secara bersamaan.

Guru SDN 023 di daerah masyarakat adat Talang Mamak, suku asli Provinsi Riau, di Desa Talang Durian Cacar Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, belum juga menerima gajinya selama tiga bulan.

"SD negeri ini beroperasi sejak Oktober 2010 dan sampai sekarang guru belum menerima gaji," kata seorang guru, Bambang Eko Santoso, Kamis (20/1/2011).

Ia menjelaskan, hanya ada tiga guru di sekolah itu yang mengajar 35 siswa dari kelas satu hingga kelas lima. Hingga kini, para guru belum mengetahui status mereka sebagai pengajar di institusi pendidikan tersebut.

"Kami belum diangkat jadi pegawai. Kami sendiri bingung statusnya apa, tapi kami tetap semangat mengajar," katanya.

Seorang guru lainnya, Siti Rohmah mengatakan, para guru tetap semangat mengajar meski belum digaji tiga bulan dan kondisi sekolah yang serba kekurangan.

"Saya mengajar karena pengabdian," ujarnya.

Para guru di sekolah itu merangkap sebagai pengajar dua sampai tiga kelas secara bersamaan. Sebabnya, sekolah itu hanya memiliki dua ruang belajar. Mereka juga merangkap sebagai pengajar berbagai mata pelajaran untuk tiap kelas yang berbeda.

"Satu papan tulis juga digunakan untuk mata pelajaran kelas satu dan dua," katanya.

Daerah Talang Mamak di pedalaman Indragiri Hulu hingga kini masih minim perhatian pemerintah untuk pembangunan di segala sektor, terutama untuk infrastruktur dan pendidikan. Tingkat pendidikan masyarakat Talang Mamak juga sangat rendah, meski mereka adalah suku asli dari Riau.

Tidak ada komentar: