Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: INILAH FAKTA TENTANG PANTASI SEKS WANITA PLAYBOY

Kamis, 10 Maret 2011

INILAH FAKTA TENTANG PANTASI SEKS WANITA PLAYBOY

INDONESIA GLOBAL
























fantasi seks wanita

Ternyata Para Wanita Memang Suka Berfantasi Seks, Lihat Fakta Ini
Jangan pernah berpikir bahwa para perempuan tak mempunyai fantasi seksual. Sesungguhnya mereka adalah “pengkhayal sejati”, yang mengharapkan adegan-adegan hebat di ranjang. Sayangnya hal itu jarang terungkapkan.
fantasi seks wanita
Mau tahu apa saja fantasi seksual para perempuan? Inilah hasil yang sudah dikumpulkan majalah Askmen. Sayangnya surveinya dilakukan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia. Tapi paling tidak begitu lah gambaran khayalan para perempuan.

Penari telanjang:
Ternyata banyak perempuan ingin berakting sebagai penari striptease bagi pasangannya. Menari-nari dengan gerakan yang hot, sambil menanggalkan pakainnya satu demi satu, dan menyaksikan sang pasangan perlahan-lahan terangsang (ereksi). Alasannya adalah melihat bahwa suaminya mulai membara menunjukkan bahwa para perempuan itu masih menarik, dan mereka memegang kendali atas sang suami.
Foto telanjang:
Meski pun banyak perempuan mencibir saat sang suami menunjukkan foto hot seorang model di majalah, namun ternyata banyak perempuan ingin berpose seperti itu untuk suaminya. Sayangnya para perempuan ini merasa bahwa tubuh mereka buruk, terlalu gendut, dan tidak menarik. Karena itu hal tersebut hanya menjadi khayalan belaka.
Melihat pesta orgy:
Kadang-kadang para perempuan ingin nakal juga tanpa membuat tangannya kotor. Karena itu salah satu yang mereka khayalkan adalah menyaksikan pesta orgy. Ada kenakalan, pelanggaran norma, dan tabu di sana namun mereka tidak terlibat di dalamnya. Makanya hanya dikhayalkan saja.
Bercinta dengan dua pria:
Siapa bilang para perempuan tidak memikirkan threesome? Namun yang mereka inginkan adalah bercinta dengan dua pria ganteng yang habis-habisan memuja sang perempuan. Dalam kenyataan hal itu masuk dalam area tabu bagi perempuan. Makanya, sekali lagi, hanya dikhayalkan.
Bercinta dengan orang asing:
One night stand atau hanya hubungan semalam adalah no-no di kamus perempuan. Namun “sisi nakal”-nya perempuan kadang butuh hal-hal terlarang itu untuk difantasikan. Sudah pasti pria dalam fantasi itu ganteng, macho, dan liar. Ah.
Nah, begitu lah fantasi seksual para perempuan. Terlihat liar karena memang hanya berhenti sampai di fantasi. Terpulang kepada para pria, apakah mampu “melepaskan” sisi liar sang istri itu di kamar tidur mereka. Bila tidak maka bisa bahaya tuh.
Bagaimana menurut Anda?
Sumber: Warta Kota.


Nudies Party Bawah Tanah
Sebuah pesta nudies berlangsung di bawah tanah. Pesertanya lebih dari 150 orang tanpa busana. Gadis-gadis cantik bergaul bebas dengan pria dalam basement yang disulap menjadi seperti sebuah klub malam kelas atas. Boleh percaya, boleh tidak!
Rasanya, hanya satu kata itu yang bisa keluar dari bibir ketika kali pertama saya mendengar hadirnya sebuah pesta telanjang di Jakarta. Cerita gila macam apa lagi ini. Mungkinkah imbas modernisasi telah begitu dalam memporak-porandakan budaya dan norma ketimuran? Rasa tak percaya menggelayut berat di benak saya. Mungkinkah wajah Jakarta telah berubah menjadi Las Vegas?
Tapi apa mau dikata. Informasi pertama soal pesta telanjang yang berlangsung di bawah tanah itu saya dapatkan dari seorang aktor ganteng terkenal ibu kota. Sebut saja SLA, 27 tahun, yang pernah digosipkan menjadi pacar artis top paling seksi Ibukota. Menurut penuturannya, pesta itu memang di luar batas kelaziman.
“Gila, seru tapi serem juga lho. Kita bisa apa saja, mau jadi kayak raja dengan para haremnya, atau mau jadi ‘playboy’ semalam suntuk,” ucapnya, serius. Antara percaya dan tidak, saya terus saja melacak kebenaran kabar gila itu.
Kabarnya, pesta itu berlangsung tert u t u p dan terbatas hanya untuk para member, tentu saja dari kalangan yang berduit. Yang menarik, pestanya berlangsung kontinyu, berdasarkan tanggal yang disepakati. Selama kurang lebih satu bulan, saya merambah kawasan Pluit. Berdasarkan informasi yang saya terima, di kawasan yang banyak terdapat perumahan mewah itulah tempat pesta telanjang sering digelar.
Berbagai tempat hiburan yang tersebar di kawasan itu, saya amati satu per satu. Dari pusat perjudian, bar diskotik, karaoke sampai panti pijat. Seminggu saya mondar-mandir di kawasan utara Jakarta itu, namun peta tempat pesta telanjang bawah tanah itu tetap misterius dan masih dalam tanda tanya besar.
Sampai suatu ketika, saya menghadiri sebuah acara fashion show akbar yang digelar di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Saya bertemu seorang kawan warga ketu-runan yang mempunyai sebuah pabrik kabel di kawasan Tangerang. Sebut saja Alex, 31 tahun. Pergaulan Alex yang luas, membuat ia memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Ia sering hadir pada acara-acara yang melibatkan kalangan selebritis. Maklum, istri Alex juga punya sebuah butik standar internasional yang pembelinya banyak dari kalangan artis dan kalangan berduit.
Alex yang saya kenal tipikal orang yang cukup akrab dan enak diajak bicara. Ia banyak bercerita seputar pengalamannya soal tempat-tempat hiburan seks yang ada di Jakarta, terutama yang berstandar kelas atas. Ternyata, Alex pun pernah terlibat sekali dalam pesta telanjang bawah tanah itu. “Kalau mencari sendiri, susah ketemunya. Itu hanya untuk members. Kalau nggak begitu, mesti ada yang menjamin dari pihak anggota,” ujarnya.
Dari pertemuan itu, saya mulai mendapatkan titik terang. Menurutnya, Alex bukanlah anggota. Ia diajak seorang temannya yang menjadi salah satu pemilik diskotek kelas atas di wilayah Jakarta Utara. “Saya pernah ke sana. Diajak seorang teman yang menjadi salah satu owner diskotek kelas atas di Jakarta,” tukasnya. Ketika saya mengutarakan keingintahuan saya ihwal pesta telanjang itu, Alex dengan senang hati akan membantu. Kebetulan, menurut kabar temannya, pesta itu dalam minggu-minggu ini memang akan digelar. Saya pun membuat janji untuk jalan bareng.
Underground Party.
Jum’at, pukul 18.00 WIB. Langit senja Jakarta beranjak malam. Saya janji bertemu dengan Alex di sebuah restoran Jepang di kawasan Kebayoran Baru. Saya datang pukul 18.15 WIB. Seperempat jam kemudian datang bersama seorang pria berbadan sedikit gemuk dengan dandanan rapi dan klimis.
“Kenalkan ini kawan saya, Hendra. Nih dia yang pernah mengajak saya ke klub telanjang sebulan lalu,” ujar Alex. Saya pun berjabat tangan yang usianya saya taksir tak lebih dari 33 tahun itu untuk kemudian memesan makanan. Sushi, teppanyaki dan segala masakan khas Jepang kami santap sambil terus ngobrol seputar klub telanjang. “Acara itu hanya untuk members dan undangan khusus. Biasanya, diadakan sebulan atau tiga bulan sekali, ya tergantung ‘peminat’nya. Maklum, semua serba sembunyi-sembunyi dan hanya antar members yang rata-rata memang kenal satu sama lain,” kata Hendra, menjelaskan.
Satu jam kemudian, Saya dibawa ke arah Jakarta Pluit. Mengendarai Mercedez E 320 warna hitam metalik milik Alex, Saya melaju cepat melintas Sudirman dan masuk jalan tol. Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya terus bercerita soal klub telanjang.
“Jakarta memang sudah gila. Dulu saya juga nggak percaya kalau itu ada,” sergah Alex.
“Saya pikir, acara pesta telanjang itu hanya ada di Amerika atau Belanda saja. Siapa sangka kalau di Jakarta pun ada,” sambungnya sambil geleng-geleng kepala. Menurut Alex, kalau tidak lantaran Hendra yang mengajaknya, ia tak akan pernah pergi ke tempat itu.
“Daripada you buang-buang duit pergi ke luar negeri, mendingan di Jakarta kan. Toh, tak ada beda jauh dengan pesta di klub telanjang yang ada di luar,” timpal Hendra. Saya tak berkomentar banyak, selain tak tahu mesti ngomong apa, saya juga tersentak dengan istilah yang dahsyat itu. Tak terasa, lima belas menit kemudian, Saya telah memasuki kawasan Pluit. Alex yang memegang kemudi sesekali bertanya pada Hendra rute menuju tempat yang Saya tuju.
“Saya agak lupa jalannya,” tandas Alex. Saya menyangka akan dibawa ke kawasan pusat hiburan Pluit yang tak jauh dari sebuah pusat perbelanjaan yang baru beberapa tahun terakhir ini dibangun.
Ternyata saya salah. Mobil Mercedez yang dikemudikan Alex malah memasuki kawasan yang saya belum tahu sebelumnya. Saya terus saja menebar pandangan ke segala arah. Ketika saya melewati sebuah bangunan Mal lama, Saya baru tersadar. Apalagi ketika saya melihat sebuah gedung bioskop yang memajang poster-poster film dalam ukuran besar. “Oh, Saya tahu sekarang,” sergah saya. Mal lama dan gedung bioskop itu yang menjadi patokan saya. Menurut penuturan Alex, kawasan yang kami tuju saat itu masuk kawasan di mana banyak tinggal bos-bos berduit. Rumah-rumah yang saya lihat memang seperti kompleks perumahan elit. Puluhan rumah dengan bangunan mewah, berjajar rapi. Rata-rata berpintu gerbang besar.
Lalu, kami memasuki bangunan perumahan besar. Tak ada papan nama atau logo layaknya sebuah tempat hiburan. Yang agak aneh, dari balik kaca kami melihat ada sekitar lima pria berbadan tegap berdiri di depan pintu. Begitu berhenti, dua orang sigap menghampiri kami.
“Bisa saya bantu, bos!” sapanya sopan. Sementara pria satunya melihat-lihat ke dalam mobil dengan sorot mata tajam. Begitu membuka kaca dan melihat Hendra, pria tegap itu langsung tersenyum ramah dan bersikap hormat. Rupanya, Hendra sudah dikenal mereka dengan baik. Atas permintaannya, kami mencari parkir sendiri sambil melihat-lihat situasi.
“Silakan memutar ke belakang,” kata pria bercelana jeans dengan jaket hitam.
Dari halaman depan kami masuk ke area parkir. Cukup luas. Area parkir itu kira-kira bisa menampung 75-100 mobil lebih. Saya lihat puluhan mobil mewah parkir rapi. Hanya jenis mobil mewah yang ada. Mercy, BMW, Range Rover dan Volvo. Di area parkir, juga terdapat sedikitnya lima pria berbadan tegap. Setelah memeriksa, salah seorang dari mereka membantu memarkir mobil yang kami tumpangi. Dari halaman parkir kami naik tangga. Begitu membuka pintu, kami langsung disambut seorang pria berpakaian rapi. “Malam bos. Silakan langsung ke dalam,” ujar pria itu mempersilakan. Rupanya, Hendra cukup dikenal di tempat itu. Itulah yang membuat saya merasa aman, meskipun harus menghadapi pemeriksaan dan tatapan mata tajam. Padahal, kalau dipikir-pikir, mustahil masuk kalau tak ada yang ‘membawa’.
Setidaknya, baru sampai di depan pintu masuk, sudah tertahan oleh penjaga. Kami sampai di ruang dalam. Ada beberapa bidang ditata seperti layaknya sebuah restoran. Ada bar kecil. Beberapa pramusaji yang semuanya laki-laki tampak mondar-mandir melayani tamu yang datang.
“Di sini tempat awalnya. Kalau di hotel, ini lobby-nya,” jelas Hendra. Pria yang selalu merokok cerutu itu segera menghampiri seorang pramusaji.
“You punya bos mana. Tolong bilang, Hendra sudah datang,” katanya perlahan. Pramusaji itu buru-buru pergi. Kami memilih meja dekat bar. Saya amati, ruangan yang menurut Hendra menjadi lobby ini tampak biasa-biasa saja layaknya restoran Jepang atau Cina. Tidak ada interior khas yang ditonjolkan. Paling-paling beberapa hiasan khas Cina seperti kelambu dan beberapa gambar yang dipajang di dinding. Seperempat jam kemudian, seorang pria bermata sipit mengenakan jas dan dasi dengan rambut klimis disisir menghampiri kami.
“Pak Hendra, gimana you punya kabar,” sapa pria itu kepada Hendra, ramah. “Ini teman you yang pernah you ajak ke sini dulu kan?” sambung pria itu ketika melihat Alex.
Pria berjas itu, sebut saja Robby, 34 tahun. Rupanya, pria keturunan itu pemilik tempat tersebut. Hendra memperkenalkan saya sebagai temen dekat, tanpa status macam-macam. Berkat Hendra, sayapun diterima dengan ramah, meskipun berkulit cokelat matang dan secara penampilan tidak serapi mereka. Di kalangan mereka, kepercayaan rupanya memegang peranan penting dalam pergaulan maupun bisnis. Tak jarang di antara mereka terjadi transaksi tanpa melalui tanda bukti tertulis dan berlangsung aman dan lancar.
Saya jadi pendengar setia di tengah obrolan mereka seputar bisnis. Terdengar akrab dan cukup terbuka satu sama lain. Bahkan sesekali terdengar tawa meledak lantaran sering ada gurauan konyol yang muncul tiba-tiba. Jam telah beranjak dari pukul 20.30 WIB. Robby untuk kesekian kali memesan minuman.
“Bagaimana you punya tempat. Tambah ramai kan?” tanya Hendra.
“Ya, masih seperti dulu. Members guestnya lumayan naik. Seperti you lihat kan. Masih tetap ramai,” jawab Robby sambil meneguk segelas black-russian.
“Ngomong-ngomong, you masuk apa cuma nengok,” tanya Robby.
“Sudah ke sini, masa aku cuma mau mampir. Koleksi-nya nambah nggak?” jawab Hendra sambil balik bertanya soal koleksi.
“Ya, pastilah. Kalau nggak nambah, ntar banyak member-guest yang bosan,” sergah Robby, tertawa. Rupanya, yang dimaksud dengan koleksi oleh Hendra tak lain “wanita”. Dengan tersenyum, Robby mendekatkan mulutnya ke telinga Hendra.
Pesta Kaligula.
Kami pun segera meninggalkan tempat duduk. Kami dibawa menuruni anak tangga. Sepanjang anak tangga diterangi lampu neon dan bentuknya menyerupai sebuah lorong kecil. Kalau tidak salah, kami seperti sudah berada di Basement. Hanya saja, interiornya sungguh beda. Dua menit kemudian, kami tiba di lokasi.
Empat recepsionist dengan senyum ramah menyambut. Sebuah pintu besar di depan meja recepsionist tampak terkunci rapat. Saya duduk di sofa sambil menunggu percakapan antara Robby, Alex dan Hendra. Saya melihat sekeliling. Tembok di tempat itu nyaris didesain dengan warna tanah. Lampu yang menyorot ke tiap sudut, membias kekuningan. Di sebelah meja recepsionist tak jauh dari pintu utama, terdapat sebuah pintu lagi.
Pukul 21.10 WIB, Robby mohon diri. “Silakan bersenang-senang,” tukasnya sambil berlalu pergi. Dua recepsionist menghampiri kami dan mempersilakan masuk ke pintu tak jauh dari pintu utama.
“Maaf, semua harap ditanggalkan tanpa terkecuali. Tak boleh ada jam tangan, handphone dan dompet. Barang-barang silakan dimasukkan dalam box yang disediakan. Saya akan mengunci box dengan aman,” jelas recepsionist berambut cepak itu. Dan benar saja. Begitu masuk kami mendapati sederet lemari box. Satu per satu kami bergantian menanggalkan semua yang melekat pada tubuh. Begitu selesai, saya mengikuti Hendra di belakang menyibak tirai hitam. Di balik tirai itu rupanya ada pintu lagi.
Begitu pintu terkuak, kami yang tanpa sehelai baju pun, hanya bisa ternganga. Astaga! Sebuah pemandangan yang sama sekali tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ratusan pria dan wanita semua dalam keadaan telanjang bulat. Musik mengalun deras laksana bunyi hujan di malam hari. Suasana layaknya klub malam, tergambar jelas. Hanya saja, kali ini semua pengunjungnya tanpa busana.
Saya pun mulai berpisah. Hendra dan Alex sudah berbaur dengan riuhnya suasana. Saya menebar pandangan ke sekeliling. Semua ruangan bernuansa cokelat. Interior ruangan seperti larut dalam bangunan meditarian. Lampu membias kelam. Meski tidak seterang lampu stadion, tapi gambaran klub telanjang itu benar-benar transparan.
Ruangan bawah tanah yang disulap menjadi seperti klub itu layaknya istana wanita. Sejauh mata memandang, hanya ada wanita dan pria dalam keadaan bugil. Tamu-tamu yang say a temui, amat beragam. Para prianya, dari yang bermata sipit sampai yang berkulit cokelat mata juga ada. Saya juga menemui beberapa selebritis yang wajahnya kerap nongol di televisi.
Sementara wanita bugilnya, juga tak kalah beragam. Ada Arab, Cina, India sampai bule. Namun mayoritas asli pribumi. Saya tak percaya, wajah-wajah cantik dengan badan seksi dan montok itu ada di acara gila seperti ini. Gaya dan tingkah mereka benar-benar liar dan menggoda. Sebuah bar besar dibangun di tengahtengah. Empat orang wanita tanpa busana bergantian menuang berbagai racikan minuman beralkohol ke dalam. Ah, rupanya wanita yang bugil di klub telanjang ini merangkap sebagai bartender. Di beberapa meja yang diletakkan di tiap sudut ruangan, terdapat makanan-makanan siap santap.
Di dalam ruangan klub telanjang itu, juga terhampar deretan kamar yang hanya ditutup dengan tirai. Kamar mandi, toilet lengkap dengan perlengkapan. Sebuah panggung mini tak jauh dari bar, menjadi panggung tarian striptis. Puluhan wanita meliuk-liuk dengan panasnya laksana cacing kepanasan. Saya seperti berada di alam mimpi. Sejauh mata memandang, hanya badan tanpa busana yang mengacaukan urat saraf.
Dari balik kamar yang ditutupi tirai, saya melihat pasangan yang keluar masuk. Saya tak bisa berpikir lagi. Pasangan yang keluar masuk dari kamar bertirai itu, bisa dua wanita satu pria atau sebaliknya. Semua berlangsung tanpa dapat saya bayangkan apa yang telah saya temui saat itu. Benarkah ini ada? Dunia memang sudah gila. Kalau selama ini saya hanya bisa melihat adegan-adegan syur seperti itu dalam film-film biru, kini saya melihatnya secara live. Benar-benar edan! Ungkapan itu untuk kesekian kali keluar dari bibir saya.
Saya pun larut dalam suasana pesta purba itu. Entah sudah berapa lama saya berada di ruang bawah tanah yang penuh dengan nafsu yang bergejolak tiap saat laksana gunung merapi itu. Saya tak tahu waktu lagi. Berada di bawah tanah, serasa tak kenal siang. Yang ada hanya malam dan malam. Semua berlalu seperti mimpi dan di bawah sadar.
Members Rp 50 juta.
Hampir pukul 5 pagi, saya ketemu Hendra dan Alex, dan memutuskan untuk keluar dari pesta telanjang tersebut. Harus saya akui, kami tampak lusuh. Hendra dan Alex, tampak seperti baru saja merampungkan kerja berat. Tapi, wajah mereka kelihatan segar, gembira.
“Rani pijatnya jago, lho. Belum lagi service-nya,” ujar Alex, tersenyum. Usai memberikan tip pada dua recepsionist yang berjaga, kami segera menaiki tangga menuju ruang lobby. Tanpa banyak basa-basi lagi, kami langsung menuju area parkir dan melaju dengan cepat meninggalkan klub telanjang tersebut.
Selama dalam perjalanan, kami saling bertukar cerita. Selama melintas di lalu lintas Jakarta yang sepi lantaran hari masih pagi buta, Hendra dan Alex saling menuturkan, untuk masuk ke acara tadi itu tidaklah mudah. Menurut Hendra, untuk bisa masuk pertama-tama harus menjadi member-guest. “Itupun tidak gampang. Karena mereka selektif sekali,” tandasnya.
Untuk menjadi member-guest, satu orang harus membayar Rp 50 juta untuk masa berlaku selama 6 bulan. Nah, selesai mendapat kartu member-guest, tiap kali datang ke klub telanjang, harus menyerahkan Rp 3 juta lagi untuk dapat mengikuti pesta purba. Dengan membayar Rp 3 juta itu, lanjut Hendra, tiap tamu diberi kebebasan mau berapa lama tinggal di dalam pesta. “Kalau kuat, mau dua hari juga boleh. Tapi, biasanya acaranya tak lebih dari dua hari dua malam,” tukasnya. Lantaran pengelola acara pesta telanjang sangat selektif, biasanya para members baru datang dengan dibawa orang-orang dekat.
“Kayak saya saja. Karena saya kenal dekat dengan “bos” dan dia percaya, gampang kan,” tandasnya. Menurut Hendra, tidak gampang bagi tamu yang belum terdaftar sebagai memberguest.
“Ya, mereka menjaga diri saja dari hal yang tidak diinginkan. Zaman sekarang kan ada-ada saja yang punya niat jelek,” ungkap Hendra.
Ihwal puluhan gadis-gadis cantik dan seksi yang menjadi ‘dayang-dayang’ penghibur dalam pesta tersebut, menurut Hendra, mereka adalah gadis-gadis bayaran yang sudah diseleksi. Mereka didapat dari sejumlah germo kelas atas di Jakarta. Rata-rata, satu orang mendapat bayaran tak kurang Rp 5 -10 juta untuk satu acara. Masih menurut Hendra, biasanya, acara yang sama akan diadakan berdasarkan undangan ke tiap members. Masing-masing members akan memberi tanda setuju ketika mereka menyetorkan uang. Yang pasti, kata Hendra, dalam 6 bulan, minimal akan diadakan 2 kali pesta.
“Member guest-nya tak kurang dari 100 orang lebih, orang berduit semua lagi,” jelasnya. Tak terasa, kami pun sampai di sebuah hotel berbintang empat di kawasan Blok M. Alex membukakan sebuah kamar untuk beristirahat.
“Saya duluan. Selamat beristirahat. Lain kali kita jalan lagi,” Alex mohon diri. Sesampainya di kamar hotel, di benak saya masih terbayang-bayang puluhan gadis cantik menari dengan penuh liukan menggoda, tanpa busana. Astaga!

Tidak ada komentar: