Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: KRISIS LIBYA PICU HARGA MINYAK MENJULANG TINGGI

Kamis, 10 Maret 2011

KRISIS LIBYA PICU HARGA MINYAK MENJULANG TINGGI

INDONESIA GLOBAL

Harga Minyak Bisa Tembus US$120 per Barel
Para spekulan memanfaatkan isu Libya dan Iran yang terus memanas.

Situasi geopolitik yang terus memanas di Libya dan Iran akhir-akhir ini dimanfaatkan oleh spekulan minyak untuk terus mengerek harga minyak. Jika konflik terus berlanjut maka harga minyak dapat tembus hingga diatas US$120 per barel.

Senior Vice Presiden Direktur Standart Chartered Bank, Fauzi Ichsan menjelaskan Libya dan Iran merupakan dua produsen minyak besar di dunia. Libya pemasok terbesar untuk benua Afrika, sedangkan Iran pemasok terbesar di Timur Tengah.

"Jika kondisi konflik politik di kedua negara tersebut berlanjut dapat mengakibatkan produksi minyak di kedua negara berhenti sehingga harga minyak dapat melonjak," kata Fauzi Ichsan di Jakarta, Senin 21 Februari 2011.

Menurut Fauzi, ini akan menimbulkan efek bola salju terhadap harga minyak. Pertumbuhan ekonomi global saat ini masih relatif rentan, sehingga krisis geopolitik akan berpengaruh terhadap ekonomi dunia.

Saat ini, lanjutnya, harga minyak tidak lagi dikontrol oleh sektor riil lagi melainkan spekulan minyak. Spekulan ini melihat jika kondisi geopolitik di kedua negara ini tidak ada solusi, maka harga minyak dapat menembus hingga di atas US$120 per barel.

"Melihat kondisi ekonomi global, jika ada penyelesaian maka harga minyak diprediksi masih dibawah US$ 100 per barel sesuai fundamental," katanya.


Kenapa Krisis Libya Picu Harga Minyak Naik?
Minyak Brent di Bursa London telah melonjak lebih dari 10% sejak aksi protes berlangsung.

Harga minyak dunia terus bergejolak menyusul terjadinya serangkaian demonstrasi antipemerintah di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Harga minyak mentah sempat menyentuh US$100 per barel, tertinggi sejak 2008.

Kantor berita BBC melaporkan, krisis politik di kawasan Arab telah membuat harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Bahkan, minyak Brent di Bursa London telah melonjak lebih dari 10 persen sejak aksi protes berlangsung. Demikian dengan harga gas, juga cenderung naik mengikuti harga minyak.

Kenaikan sumber energi ini telah membuat harga bahan bakar kendaraan di Eropa, melonjak. Tidak hanya di Eropa, hampir semua belahan dunia juga merasakan hal yang sama. Di Indonesia, harga bahan bakar non subsidi jenis Pertamax juga melambung. Per 1 Maret 2011, harga Pertamax di Jakarta telah mencapai Rp8.100 per liter.

Kenapa krisis negara-negara Arab ini sangat mempengaruhi harga minyak?

Libya
Laporan Statistik Energi British Petroleum (BP) pada 2009 menyebut, Libya sebagai eksportir terbesar ke-12 di dunia dengan sumber cadangan minyak terbesar di Afrika. Dari sisi energi, Libya merupakan negara yang paling penting di kawasan itu.

Hingga pertengahan dekade terakhir, investasi dibatasi akibat sanksi internasional. Hanya beberapa perusahaan yang mengeksploitasi di sana, yaitu ENI Italia, perusahaan asal Australia Österreichische Mineralölverwaltung, dan Repsol dari Spanyol.

Ketika sanksi internasional dicabut, Libya mengundang lebih banyak perusahaan untuk mengeksploitasi sumber minyak. BP dari Inggris dan Shell dari Belanda menandatangani kesepakatan eskploitasi, bersama perusahaan lain seperti Statoil dari Norwegia dan Gazprom dari Rusia yang membeli operasi ENI di negara itu.

Sejak kekerasan terjadi, hampir semua perusahaan mengumumkan untuk menarik sebagian atau seluruh pegawai asing mereka. Meski produksi minyak tak terganggu secara langsung, satu aksi mogok dilaporkan membuat sumur minyak Nafoora dan kilang minyak Rus Lanuf ditutup.

Meski terjadi krisis politik, pengamat minyak Richard Swann dari Platts meyakini sebagian besar minyak dan gas Libya masih bisa dikirim ke luar negeri. Hampir seluruh produksi minyak Libya dikirim ke Eropa dan Italia.

Italia juga penerima gas yang dikirim lewat jaringan pipa antarkedua negara. "Jika ada gangguan, akan sangat sensitif karena jaraknya sangat dekat," kata Richard.

Aljazair
Aljazair adalah produsen gas terbesar di Afrika, dan mengekspor lewat jaringan pipa ke Italia dan Spanyol, serta lewat terminal LNG di seluruh dunia. BP adalah investor asing terbesar di Aljazair. BP mengoperasikan dua sumur terbesar, salah satu sumur bekerja sama dengan Statoil.

Karena tak banyak informasi yang keluar dari aksi protes di negara ini, sangat sulit memperkirakan dampak terhadap pasok gas. Bila terjadi gangguan pasok, dipastikan berdampak pada harga energi di Eropa.

Mesir
Mesir mengendalikan Terusan Suez dan jaringan saluran pipa. Diperkirakan 4-5 persen minyak dunia ditransportasikan melalui terusan ini.

Mesir juga merupakan penghasil minyak yang besar, namun karena populasinya tinggi, sebagian besar produksi diperuntukkan bagi keperluan dalam negeri.

Negara ini baru saja menemukan sejumlah sumber gas, dan hasil produksinya diekspor ke Amerika, Spanyol, dan Inggris. Produksi diperkirakan meningkat tajam jika negara itu kembali stabil.

Seperti Aljazair, BP menjadi investor asing terbesar dengan memproduksi 35 persen gas negara itu, melalui British Gas (BG). Selain itu, operasi Shell di Mesir cukup besar.

Perusahaan-perusahaan energi harus menunggu dan mengamati apakah pemerintahan baru akan menghormati kontrak sebelumnya. "Kontrak-kontrak itu dipandang terlalu menguntungkan perusahaan," ujar Mika Minio dari Platform, LSM yang mengawasi industri minyak di kawasan itu.

Tunisia, Bahrain, dan Yaman

Tunisia, Bahrain, dan Yaman juga memiliki peran cukup penting, meski lebih terbatas, di bidang energi. Di Tunisia, BG Group adalah produsen terbesar dengan menghasilkan 60 persen gas produksi negara itu. Namun, pasokan hanya terpengaruh sedikit dari revolusi yang menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali.

Bahrain memiliki dua sumur minyak dan meski tidak satu pun memproduksi dalam jumlah luar biasa, kekacauan di negara kerajaan ini tampaknya ikut mendorong harga minyak mentah naik.

Yaman baru saja menyelesaikan pembangungan satu terminal LNG baru yang merupakan kerja sama dengan perusahaan Prancis, Total. Infrastruktur gas di negara ini berulangkali diserang kelompok militan domestik, namun tidak berdampak pada pasokan global.

Konflik Libya Berlanjut,Minyak di Atas US$105
Pasokan minyak tingkat global bisa terus tertekan selama berbulan-bulan

Pergolakan di Libya terus membuat harga minyak mentah melambung. Dalam beberapa pekan terakhir, harga minyak di dua bursa utama dunia stabil di atas US$100 per barel.

Menurut kantor berita Associated Press, harga minyak untuk transaksi April di bursa New York Senin sore waktu setempat (Selasa pagi WIB), naik US$1,02 menjadi US$105,44 per barel. Harga bahkan sempat menyentuh US$107 per barel - tertinggi sejak 26 September 2008.

Di bursa London, harga minyak melemah 93 persen menjadi US$115,05 per barel.

Tingginya harga minyak mentah, menurut kalangan pengamat, karena para investor terus memperhatikan situasi di Libya, salah satu penghasil minyak mentah utama di dunia. Awal pekan ini terjadi pertempuran antara pasukan pro rezim Muammar Khadafi dengan milisi pemberontak di dekat kota pelabuhan minyak utama di Libya.

Sejak 15 Februari lalu pergolakan terjadi di Libya sehingga membuat ekspor minyak di negara itu terhenti. Maka, para pelaku pasar mewanti-wanti bahwa pasokan minyak tingkat global akan terus tertekan selama berbulan-bulan.

"Harga akan terus bergerak naik hingga situasi bisa terkendali," kata Jim Ritterbusch, pengamat dari Ritterbusch and Associated. Situasi di Libya ini diperkirakan mengganggu target produksi kartel negara penghasil minyak terkemuka dunia, OPEC.

"Bila situasi kian memburuk di Afrika Utara atau di Timur Tengah, tingkat produksi bisa turun terus dan kita bakal mengalami menipisnya persediaan," kata Erik Kreil, pengamat dari Badan Informasi Energi AS (IEA).

Menurut IEA, OPEC selama ini menargetkan kuota produksi para anggotanya - termasuk Libya - sebesar 4,7 juta barel per hari. Namun, bila pasokan dari Libya terus terhenti, kuota produksi OPEC akan menurun 32 persen menjadi sekitar 3,2 juta per hari.



Krisis di Libya, Harga Minyak US$100/Barel
Di bursa New York, baru kali ini harga menyentuh US$100 dalam dua setengah tahun terakhir.

Pergolakan di Libya turut berdampak besar pada harga minyak mentah. Di bursa New York dan London, harga minyak mentah kini sudah menyentuh level US$100 per barel.

Menurut kantor berita Associated Press (AP), pada transaksi Rabu sore waktu setempat atau Kamis pagi WIB, harga minyak mentah naik lebih dari empat persen menjadi US$100 per barel. Di bursa London, harga minyak mentah bahkan melonjak lima persen menjadi US$111,25 per barel.

Harga minyak di London sudah melampaui US$100 per barel sejak 31 Januari lalu. Namun, di bursa New York, baru kali ini harga menyentuh US$100 per barel dalam dua setengah tahun terakhir atau sejak Oktober 2008.

Menurut kalangan pengamat, penyebab utama lonjakan besar harga minyak mentah ini adalah pergolakan anti rezim Muammar Khadafi di Libya. Negeri itu diyakini memiliki cadangan minyak mentah terbesar di Afrika, sehingga krisis di negeri tersebut sangat mempengaruhi sentimen pasar.

Libya dilihat sebagai negara produsen minyak pertama yang terkena virus revolusi di kawasan Timur Tengah sejak Januari lalu. Bagi pengamat, Libya memproduksi dua persen dari total output minyak mentah dunia, sehingga meningkatnya kekerasan dan kerusuhan di negara itu bisa mengganggu sesama produsen yang bertetangga.

"Para investor tengah memantau apa yang tengah terjadi di Timur Tengah dan melihat kemungkinan terjadinya fenomena domino," kata Ron Kiddoo, pengamat dari Cozad Asset Management, yang dikutip stasiun berita CNNMoney.

Melonjaknya harga minyak mentah itu juga mempengaruhi harga bensin. Di AS, harga bensin menjadi sekitar US$3,20 per galon. Menurut AP, ini merupakan harga bensin tertinggi sejak awal Februari tahun ini.

Tidak ada komentar: