INDONESIA GLOBAL
PERUMAHAN
Ketika Kolong Jembatan Penuh Sesak...
Warga penghuni kolong Jembatan Sempur di Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, beraktivitas pagi, misalnya mencuci dan mandi, di aliran Kali Ciliwung, Kamis (24/2). Lokasi itu berjarak sekitar 500 meter dari Istana Bogor. Mereka berada di lokasi itu karena tidak punya tempat tinggal, sedangkan banyak rumah susun sewa terbengkalai di Jakarta ataupun Kabupaten Bogor.
Antony Lee dan Fransisca Romana Ninik
Alfian Ramdani, bocah berusia delapan tahun itu, tertidur pulas pada selembar karpet bekas yang dilapisi potongan karung. Di sisi-sisi karung itu tersembul bebatuan dari dasar Kali Ciliwung. Gemercik air kali yang tak jauh dari tempatnya terlelap seperti menjadi lagu pengantar tidur.
Begitu pula dengan suara kendaraan yang melintasi Jembatan Sempur di atas tempat Alfian terlelap. Jembatan itu adalah bangunan peninggalan Belanda di Jalan Jalak Harupat, Kota Bogor, Jawa Barat. Lokasinya hanya beberapa ratus meter dari gerbang masuk Istana Bogor. Selain Alfian yang tidur lelap, ada sang ayah, Endang (39), yang duduk di tanah berbatu di kolong jembatan itu.
”Anak saya kecapekan. Saya juga kurang enak badan. Jadi, jam segini masih di sini,” tutur Endang, Rabu (23/2). Saat itu jam menunjukkan angka 10.30.
Endang dan istrinya, Iyah (34), beserta empat anak mereka sudah setahun terakhir menjadikan kolong jembatan sebagai tempat tidur kedua, selain emperan toko di dekat Taman Topi, Kota Bogor.
Siang hingga menjelang malam, Endang dan keluarganya keliling Bogor mengumpulkan plastik bekas untuk dijual. Malam hari, Endang tidur di Taman Topi, lalu pagi sebelum pukul 06.00, mereka sudah berada di kolong Jembatan Sempur.
Anak-anak melanjutkan tidur sejenak, sedangkan Iyah menjerang air dan menanak nasi, hanya berbekal panci dan ceret tua yang bagian bawahnya sudah hitam legam. Ia meletakkannya di sela-sela batu di bawah jembatan yang juga merupakan daerah aliran Kali Ciliwung. Kayu bakar dikumpulkannya dari ranting-ranting patah di sekitar jembatan.
Di lokasi itu mereka makan, mandi, mencuci, hingga buang air. Malam hari, mereka tidak tidur di sana karena dilarang warga. Berbahaya, sewaktu-waktu air bisa tinggi mendadak jika hujan turun di daerah Cisarua, sekitar kawasan wisata Puncak.
”Sebetulnya kami mau punya tempat berteduh yang layak, tetapi penghasilan kami pas-pasan. Sewa mahal,” tutur Agus (41), pemulung lain di Jembatan Sempur.
Penghasilan Endang dan istri serta anaknya hanya Rp 30.000-Rp 50.000 per hari. Agus, yang dibantu istri yang baru dua bulan ”dinikahinya”, bisa mengumpulkan Rp 50.000-Rp 60.000 per hari jika sedang ramai. Sementara harga sewa kamar indekos yang cukup murah Rp 300.000 per bulan.
Tinggal di emperan toko dan kolong jembatan, bagi mereka, terlebih yang sudah beristri, sungguh tak ada privasi. Soal hubungan suami-istri, misalnya, Agus dan Endang hanya tertawa malu. ”Kalau ada rumah sewa yang murah, misalnya maksimal Rp 200.000 per bulan, kami mau. Capek juga menggelandang terus,” kata Endang.
Pemerintah sebetulnya sudah memikirkan hal itu lewat proyek rumah susun (rusun) sewa dengan harga murah. Di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, misalnya, pada 2005 Kementerian Pekerjaan Umum mengeluarkan dana Rp 26,5 miliar untuk membuat tiga twin block rusun 288 kamar, tetapi sampai sekarang masih kosong melompong.
Petugas kebersihan
Demikian juga rusun bagi sopir dan kernet truk sampah di Jalan Kemuning Raya, Kecamatan Cengkareng. Meski selesai tahun 2009, rusun belum bisa ditempati. Proyek itu rencananya untuk menggantikan rumah dinas karyawan Dinas Kebersihan DKI Jakarta di Menceng, Jakarta Barat, yang akan digusur untuk asrama haji.
Menurut Ali (45), pekerja harian lepas, dia dan rekan-re- kannya sudah diberi tahu agar bersiap-siap pindah ke rusun. ”Sampai sekarang belum juga bisa ditempati, malah rusak di mana-mana. Kalau mau ditempati, ya, harus diperbaiki semuanya,” ujarnya.
Yang penting, lanjut Ali, fasilitas dasar, seperti air dan listrik, terjamin. Sampai saat ini listrik dan air belum mengalir ke rusun. Karena dibiarkan tak berpenghuni dan tanpa penjagaan selama dua tahun, dua blok rusun dengan kapasitas 200 unit itu kini telantar.
Kecamatan Tambora merupakan kecamatan terpadat kedua di DKI Jakarta dengan kepadatan mencapai 43.789 jiwa per kilometer persegi. Mereka tinggal berdesak-desakan dan berimpitan di gang-gang sempit.
Setiap ruang dimanfaatkan untuk tempat tinggal sehingga tidak tersisa lagi ruang terbuka hijau dan sanitasi yang memadai. Satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga. Salah satunya, keluarga Samin (70) yang tinggal di RT 02 RW 03, Kelurahan Jembatan Besi. Satu rumah berukuran 4 meter x 6 meter dihuni 18 orang. Di Kecamatan Tambora hanya ada satu rusun, yaitu Rusun Angke yang sudah penuh sesak oleh penghuninya.
Inilah sebuah ironi metropolitan. Ketika masih banyak orang tak punya rumah dan tinggal di kolong jembatan, rusun yang dibangun pemerintah dengan dana triliunan rupiah itu justru telantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar