Indonesia Menjadi Penengah
Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong (kiri) didampingi Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, seusai mengikuti pertemuan informal antar-menteri luar negeri ASEAN di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (22/2). Pertemuan itu diadakan untuk membahas konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja.
Jakarta, Kompas - Thailand dan Kamboja sepakat meminta Indonesia mengirimkan tim pemantau militer ke wilayah sengketa kedua negara di dekat Candi Preah Vihear dalam waktu dekat. Perundingan damai bilateral juga akan digelar secepatnya di Indonesia.
Kesepakatan tersebut tercapai dalam pertemuan informal para menteri luar negeri ASEAN di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (22/2).
Dalam pertemuan yang dipimpin Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa tersebut hadir Menlu Kamboja Hor Namhong, Menlu Thailand Kasit Piromya, Menlu Singapura George Yeo, dan Menlu merangkap Wakil Perdana Menteri Laos Thongloun Sisoulith.
Dalam jumpa pers, Marty mengungkapkan, Indonesia diminta kedua pihak yang bersengketa untuk mengirimkan tim pemantau (observer) ke lokasi sengketa. Setiap tim beranggotakan 15-20 orang, yang terdiri atas personel militer dan sipil, dan akan ditempatkan di setiap sisi perbatasan kedua negara.
”Ini perkembangan menarik karena belum pernah terjadi, ada tim pengamat dari satu negara yang ditempatkan di kedua sisi perbatasan,” tutur Marty, sambil menambahkan, dalam hal ini Indonesia bertindak dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN.
Meski mengakui sebagian besar anggota tim adalah personel militer, Marty menegaskan, tim tersebut bukan pasukan penjaga perdamaian dan tak akan dipersenjatai. Mandat yang diberikan kepada tim pemantau adalah untuk ”membantu dan mendukung” semua pihak dalam menghormati komitmen untuk menghindari terjadinya bentrokan bersenjata lagi.
Tim pemantau juga ditugaskan memantau dan melaporkan setiap perkembangan, keluhan, dan pelanggaran kesepakatan gencatan senjata kepada semua pihak melalui Indonesia sebagai Ketua ASEAN. ”Dengan adanya pihak ketiga di lokasi, akan ada kepastian siapa yang memulai bentrokan duluan,” tutur Menlu Thailand Kasit Piromya dalam wawancara terpisah seusai pertemuan itu.
Marty belum bisa memastikan kapan tim pemantau diberangkatkan dan sampai kapan akan bertugas di sana. Sementara Piromya mengatakan, tim pemantau akan bertugas di daerah sengketa sampai Thailand dan Kamboja mencapai kesepakatan final soal sengketa ini.
Di Phnom Penh, PM Kamboja Hun Sen menyambut baik keputusan pengiriman tim pemantau itu. ”Mereka (tim pemantau) boleh melakukan inspeksi di mana pun dan kapan pun mereka mau,” ujar Hun Sen.
Perundingan bilateral
Selanjutnya, sengketa perbatasan kedua negara akan dibicarakan secara bilateral, dengan Indonesia diharapkan menjadi fasilitator. ”Dalam pembicaraan tadi ada pemahaman bahwa pertemuan bilateral itu akan digelar di Indonesia,” ungkap Marty.
Pasukan Kamboja dan Thailand baku tembak di sekitar lokasi Candi Preah Vihear yang menjadi sengketa, 4-7 Februari lalu. Sebelas orang tewas, terdiri dari 8 tentara Kamboja dan 3 tentara Thailand, serta belasan orang luka-luka dalam bentrokan bersenjata itu.
Candi Preah Vihear ditetapkan Mahkamah Internasional menjadi milik Kamboja pada 1962, tetapi perbatasan kedua negara di sekitar candi itu tak pernah ditentukan secara pasti dan menjadi sumber sengketa.
CHINA
Pemerintah Peringatkan Kerusuhan Domestik
Beijing, Selasa - Pemerintah China menghadapi suatu masa pergolakan karena kerusuhan dalam negeri dan tantangan dari ”kekuatan-kekuatan Barat yang bermusuhan”. Tantangan itu akan dihadapi dengan kontrol yang lebih canggih, kata seorang pejabat penegakan hukum Partai Komunis.Chen Jiping, Deputi Sekjen Komite Urusan Politik dan Hukum Partai Komunis, memperingatkan hal itu di sebuah majalah mingguan yang diterbitkan oleh kantor berita resmi Xinhua, Selasa (22/2). Dalam artikel itu, Chen menyalahkan negara demokratis Barat karena menimbulkan kerusuhan.
Chen tidak menyebut rangkaian protes yang telah mengguncang pemerintah otoriter di Timur Tengah dan ucapannya mencerminkan kekhawatiran Partai Komunis di dalam negeri.
Namun, pemberontakan yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak di Mesir, dan kini mengancam orang kuat Libya Moammar Khadafy, kemungkinan besar akan memperkuat pandangan para pejabat keamanan China seperti Chen.
”Rencana beberapa kekuatan Barat yang bermusuhan untuk memecah belah kita meningkat. Mereka juga mengibarkan bendera membela hak asasi manusia untuk mencampuri konflik dalam negeri dan menciptakan segala jenis insiden,” kata Chen pada majalah itu.
”Insiden massa terus terjadi,” kata Chen, menggunakan eufemisme Partai Komunis untuk protes, kerusuhan, pemogokan, dan petisi massal.
Untuk menghadapi kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu, para pemimpin China mendorong langkah keamanan yang lebih keras yang mereka lakukan pada akhir pekan lalu. Ketika itu polisi memadamkan upaya-upaya untuk meniru protes jalanan ”Revolusi Melati” yang telah berkembang di seluruh Timur Tengah.
Chen mengatakan, pemerintah sedang mengasah kebijakan-kebijakan untuk meredakan dan memadamkan kerusuhan dan kejahatan. Kebijakan-kebijakan itu antara lain lebih banyak pemantauan pada warga untuk memotong ancaman pada saat masih kuncup.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Ma Zhaoxu kemarin menolak menjawab pertanyaan mengenai imbauan melalui internet baru-baru ini untuk melakukan protes demokrasi model Timur Tengah di China. Alih-alih menjawab, ia mengatakan sebagian besar orang China mempunyai keinginan akan stabilitas politik.
Ketika ditanya oleh seorang wartawan mengenai imbauan di internet itu, Ma mengatakan topik itu tidak cocok untuknya karena tidak ada hubungannya dengan hubungan luar negeri. Dia kemudian menambahkan bahwa sebagian besar orang China mendukung jalur pembangunan negara itu dari 30 tahun terakhir.
FAKTOR
Ancaman Keamanan Pangan Global
Sebuah peribahasa China populer mengacu pada persoalan makanan berbunyi ”qiao fu nan, wei wu mi zhi chui” yang artinya ’tanpa beras, ibu rumah tangga yang paling cerdas sekalipun tidak bisa masak’. Peribahasa ini menggambarkan secara keseluruhan persoalan diet makanan tidak hanya bagi orang Tionghoa saja, tapi juga orang-orang Asia umumnya yang bertumpu diet makanan pada beras.
Dunia sekarang dihadapkan pada persoalan keamanan pangan atau dikenal dengan istilah food security, ketika lonjakan harga pangan dunia mulai dirasakan sebagai ancaman bagi sejumlah negara yang disebabkan berbagai faktor, termasuk pemanasan global, kenaikan harga bahan bakar karena krisis di Timur Tengah, dan kekeringan yang berkepanjangan.
Persoalan keamanan pangan tidak hanya melanda China, tapi juga negara lain di Afrika dan Amerika Latin. Namun, China memang memiliki potensi paling besar dalam menghadapi masalah keamanan pangan karena penduduknya yang besar, konsumsi dietnya masif, serta keterbatasan lahan pertanian yang bisa ditanam.
Selama 600 tahun terakhir, China melakukan berbagai kesalahan penataan dan pemanfaatan kekayaan tanah, hutan, minyak, maupun airnya. Tren ini dipercepat dengan berkuasanya Partai Komunis China tahun 1949 dan salah satu pilar ajaran Maoisme, yaitu ”manusia harus menguasai alam!”
Konsumsi sumber alam di daratan China pun menjadi berlipat ganda bersamaan dengan pelaksanaan modernisasi pembangunan yang dijalankannya. Urbanisasi dan pertumbuhan kelas menengah kaya di China pasti membutuhkan sumber tanah, mineral, dan air dalam kuantitas yang tidak mampu disediakan secara geografis oleh daratan China.
Kondisi ini juga berlaku di negara-negara Asia lain, ketika kawasan pertanian di sejumlah kawasan Asia tidak lagi mampu memenuhi konsumsi domestik, termasuk kekurangan beras dan gandum sebagai diet utamanya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini muncul kecenderungan baru dan menjadi perdebatan di kalangan negara-negara miskin. Negara yang mengekspor kapital tapi mengimpor makanan melakukan subkontrak (outsourcing) produksi pertanian ke negara-negara yang membutuhkan kapital tapi memiliki wilayah cadangan untuk ditanam berbagai keperluan pangan.
Tren ini menunjukkan ketimbang membeli makanan di pasaran dunia, pemerintah dan perusahaan dengan pengaruh politik membeli atau menyewa lahan pertanian di luar negeri, memanen tanaman di negara asing, dan mengapalkan kembali ke negeri mereka. Ini dilakukan China, Korea Selatan, Saudi Arabia, Kuwait, Inggris, Jerman, dan lainnya.
Mulai tahun 2007 sampai pertengahan 2008, indeks harga makanan meningkat 78 persen, kedelai dan beras melonjak 130 persen, sedangkan cadangan makanan dunia di mana-mana mulai menurun. Bagi negara-negara kaya seperti China, Korsel, atau Jepang tidak menjadi persoalan karena memiliki kemampuan untuk membeli bahan makanan dengan harga yang tinggi.
Yang tidak dikuasai adalah ketika kesepakatan larangan perdagangan diberlakukan oleh eksportir besar dan kecil menjaga harga bahan makanan di dalam negeri sendiri tidak melonjak.
Keamanan pangan menjadi isu globalisasi serius mengancam siapa saja. Persoalan pangan bukan ada di Asia saja, melainkan juga di seluruh dunia. Spes Anchora Vitae, bunyi ungkapan bahasa Latin yang berarti ’harapan adalah jangkar kehidupan’. Dan harapan keamanan pangan adalah kerja sama yang menguntungkan semua negara, kaya dan miskin, bagi kehidupan.
Harga Minyak Tak Terkendali
London, Selasa - Harga minyak makin tak terkendali setelah kerusuhan di Libya tak kunjung mereda. Jika protes dan rusuh meluas ke negara produsen minyak utama lain di Timur Tengah dan Afrika Utara, harga minyak dikhawatirkan bisa menyentuh 140 dollar AS per barrel.
Dalam perdagangan di London, Inggris, Selasa (22/2) pagi, harga minyak mentah Brent untuk kontrak pembelian bulan April sempat menyentuh 108,57 dollar AS per barrel, atau melampaui rekor tertinggi dalam dua tahun terakhir, yang tercatat sehari sebelumnya.
Sementara di New York, AS, harga patokan minyak mentah light sweet crude West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak bulan Maret melonjak hingga 94,49 dollar AS per barrel, atau naik lebih dari 7 dollar AS per barrel dibanding hari Senin. Harga minyak menurut Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berada di kisaran 100 dollar AS per barrel.
Kenaikan ini dipicu ketidakpastian yang makin tinggi di Libya, setelah beberapa diplomat negara itu di luar negeri berbalik melawan pemerintah dan beberapa pilot pesawat tempur Libya membelot ke negara lain. ”Berbeda dengan Mesir, Libya adalah negara produsen minyak yang signifikan. Kita kemungkinan akan melihat gangguan (pasokan minyak) terbesar setelah meletusnya Perang Teluk Kedua,” ungkap laporan kantor konsultan energi The Schork Report.
Namun, ketakutan terbesar para pelaku pasar saat ini adalah apabila protes dan kerusuhan di Libya merambat ke negara-negara produsen minyak utama lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Protes antipemerintah, yang dimulai di Tunisia dan berlanjut ke Mesir, saat ini juga telah merambat ke dua raksasa penghasil minyak, yakni Aljazair (produsen minyak terbesar kedua di Afrika) dan Iran (negara produsen minyak terbesar kedua di OPEC).
Krisis yang terjadi di kawasan pusat penghasil minyak dunia itu, menurut firma konsultan ekonomi Capital Economics, sejauh ini telah menaikkan harga minyak hingga 10 dollar AS per barrel. ”Melihat laju perkembangan situasi di kawasan ini, bukan tidak mungkin harga minyak akan mencapai 140 dollar AS (per barrel) dalam beberapa pekan mendatang, atau bahkan lebih, jika kerusuhan mulai mengganggu produksi di negara-negara produsen minyak yang lebih besar,” demikian bunyi laporan firma tersebut.
Hentikan produksi
Prospek terganggunya pasokan minyak dunia pun makin besar setelah perusahaan-perusahaan minyak asing di Libya mulai mengurangi jumlah staf, menurunkan produksi, atau bahkan menghentikan operasi sama sekali.
Perusahaan minyak terbesar dari Spanyol, Repsol, memutuskan menghentikan seluruh operasinya di Libya, Selasa, menyusul evakuasi para staf ekspatriat dan keluarga mereka sehari sebelumnya. Repsol, yang sudah beroperasi di Libya sejak 1970-an, memproduksi minyak 34.777 barrel per hari.
Perusahaan minyak Wintershall dari Jerman juga mulai mengevakuasi 130 staf dan keluarga mereka, Senin, yang berdampak pada penurunan produksi minyak mereka di Libya. Anak perusahaan BASF tersebut mengoperasikan delapan ladang minyak di Libya dengan kapasitas produksi mencapai 100.000 barrel per hari.
Dari Italia dilaporkan, pasokan minyak dan gas dari Libya ke negara itu mulai dihentikan sebagian. Italia mengimpor 25 persen kebutuhan minyak dan 10 persen kebutuhan gas alam dari Libya, dan saat ini hanya memiliki cadangan minyak untuk 90 hari dan gas untuk 30 hari ke depan.
Wakil Menteri Energi AS Daniel Poneman dalam pertemuan antara produsen dan konsumen minyak sedunia di Riyadh, Arab Saudi, Selasa, mendesak agar negara-negara produsen minyak segera menaikkan produksi untuk mengendalikan harga.
Menteri Energi Uni Emirat Arab Mohammad bin Dhaen al-Hamli mengatakan, OPEC akan mengintervensi pasar pada saat dibutuhkan. Namun, Al-Hamli tidak menyebutkan batas harga yang akan menjadi patokan intervensi OPEC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar