Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: PRAMONO ANUNG : DEMOKRAT TAKUT DENGAN BENTUK UU KOALISI

Senin, 28 Februari 2011

PRAMONO ANUNG : DEMOKRAT TAKUT DENGAN BENTUK UU KOALISI

INDONESIA GLOBAL
  Pram: Wacanakan UU Koalisi, Demokrat Khawatir
"Kita kan menganut sistem presidensil, tidak ada yang namanya koalisi permanen."
Senin, 28 Februari 2011, 11:55 WIB
 

Wakil Ketua DPR RI dan mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Pramono Anung tidak sepakat dengan Partai Demokrat yang mewacanakan koalisi diatur dalam bentuk undang-undang.

"Kita kan menganut sistem presidensil, tidak ada yang namanya koalisi permanen, karena koalisi permanen ada dalam sistem parlementer," kata Pramono di Gedung Dewan, Senin 28 Februari 2011.

Dijelaskan Pramono, dalam sistem parlementer dinamikanya bisa bergantian, apabila terjadi perubahan kekuasaan. "Kalau koalisi diundang-undangkan, bagaimana caranya? Karena tidak bisa dibakukan dalam koalisi, koalisi itu bersifat dinamis, bagaimana itu mau diseragamkan?" kata Pram.

Soal wacana tersebut, Pram menilai, "Saya melihat ada kekhawatiran berlebihan Partai Demokrat terhadap koalisi ini. Kekhawatiran Demokrat pada koalisinya bagi saya tidak baik bagi kehidupan demokrasi."

Ditambahkan Pramono, bagaimana pun, parlemen tidak bisa dikooptasi dan diambil oleh Sekretariat Gabungan. "Karena apa yang terjadi di DPR merupakan hal yang dinamis dan bagian dari demokrasi," kata Pram. "Aneh kalau ada usulan koalisi diundangkan."

Wacana koalisi diatur dalam UU mengemuka seiring mencuatnya isu perpecahan dalam tubuh Sekretariat Gabungan -- kumpulan partai yang berkoalisi dalam pemerintahan SBY.

Isu ini bergulir karena dua partai koalisi, Golkar dan PKS, mendukung penuh Hak Angket Mafia Perpajakan. Hal ini berlawanan dengan Partai Demokrat sebagai partai penguasa yang menolaknya.

Senada dengan Pramono, sebelumnya, Ketua DPP PKB, Helmy Faishal Zaini tidak sepakat koalisi diatur dalam UU. "Boleh saja diatur tapi dalam konteks saya, konsensus," kata dia, Minggu kemarin.

Apalagi, tarik ulur dalam koalisi, menurut Helmy, adalah hal biasa. "Sama seperti suami istri. Suami mau makan sayur asem, tapi istri ingin gado-gado," jelasnya.


Suhu Politik Jelang 2014 Memanas Sejak 2011
Pengamat politik Eep Saefulloh Fatah menilai SBY tidak disiplin dalam mengelola koalisi.


Eep Saefulloh Fatah

Suhu politik jelang Pemilu 2014 diprediksi mulai memanas pada 2011 ini. Tarik ulur kepentingan akan kian runcing, terutama diantara partai koalisi pendukung pemerintahan SBY.

"Sulit mengharapkan koalisi solid," kata CEO Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah dalam jumpa pers di Hotel Atlet Century, Kamis 20 Januari 2011.

Menurut Eep, enam tahun lebih memimpin, Yudhoyono tidak disiplin dalam mengelola koalisi. Dia menilai ketidakdisiplinan itu disebabkan presiden merasa dipilih 61 persen rakyat dan hanya dalam satu putaran. Dua modal itu cenderung memanjakan dirinya.

Pertarungan politik 2014 yang mempengaruhi ketidaksolidan koalisi. "Demokrat dan Golkar saat ini istilahnya eye ball to eye ball confrontation," katanya.

Eep menangkap indikasi saling kunci antara Partai Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie dan partai yang ditukangi SBY, Demokrat. "Aburizal merasa memiliki modal ekonomi yang cukup. SBY sendiri tidak bisa mempertimbangkan sesuatu tanpa Golkar," katanya. Sehingga, kata dia, di mata mitra koalisi lainnya Demokrat lebih memperhatikan Golkar.

Gejala itu memang tampak pada refleksi akhir tahun Fraksi PKS dan PPP yang menganggap pola komunikasi Sekretariat Gabungan (Setgab) tidak sehat. Bahkan ada sejumlah anggota kedua fraksi itu mewacanakan poros tengah jilid dua.

"SBY tidak punya kemampuan untuk bisa memuaskan atau mengakomodasi kepentingan partai menengah dan kecil. Keadaan ini tidak bisa membuat solid," tambah Eep.

Faktor yang juga membuat koalisi tidak solid, urai Eep, adalah dinamika politik internal partai politik yang bergabung di koalisi tidak bisa dikendalikan sepenuhnya oleh ketua partai.. "Anggota dewan saat ini melakukan transaksi otonom. Kalaupun pegang Ketua fraksi, tetap bisa dilecehkan begitu saja," ujarnya.


Din: Koalisi Pendukung SBY Tak Konstruktif
Din menilai koalisi tidak konstruktif bagi pembangunan demokrasi.

Din Syamsuddin

Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin berpendapat koalisi partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono dari hasil pemilu 2009 lalu tidak konstruktif bagi pembangunan demokrasi.

"Karena koalisi itu ditarik kepada sebuah interest politik dan terutama pada pembagian jatah khususnya di pemerintahan atau di tempat lain, dan kemudian balasannya itu harus menyetujui suatu ide besar yang membuat partai-partai anggota koalisi tidak lagi kritis dan selalu langkahnya penuh perhitungan," kata Din di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa, 21 Desember 2010.

Akibatnya, kata Din, hal itu telah mengurangi bobot demokrasi di Indonesia. Koalisi, kata Din, "mengkooptasi karena sering bernada ancaman baik yang pemegang koalisi itu partai Demokrat maupun anggotanya."

Karena itu, Din berpandangan agar Setgab sebaiknya membubarkan diri, "Supaya memberi kebebasan hak bagi partai politik. Jangan lupa partai politik itu perwakilan rakyat. Dan, tidak ada rakyat yang memilih partai manapun di koalisi itu yang pernah memandatkan partai itu untuk berkoalisi."

Lebih berbahaya lagi, tambah Din, koalisi ini memasuki wilayah penegakan hukum. "Mengapa (penyelesaian kasus) Century tidak jalan?" Din mempertanyakan.

Tentang hal ini, Wakil Sekjen Partai Demokrat, Saan Mustofa, mengatakan adalah hak setiap orang, termasuk Din Syamsuddin, untuk berpendapat. "Tapi, apa yang ia sampaikan kurang berdasar," kata dia kepada VIVAnews.com.

Menurut dia, Setgab dibangun atas dasar komitmen bersama agar program-program pemerintah berjalan baik, dan untuk mengawal pemerintahan SBY-Boediono. "Tidak seperti yang disampaikan Din," tambah dia.

Saan juga menjawab sejumlah kritik yang disampaikan sejumlah anggota Setgab. Salah satunya PKS yang menilai Setgab seperti pemadam kebakaran.

Kata dia, Setgab baru berjalan satu tahun kurang. "Dalam perjalanannya, apa yang sudah dicapai perlu ditingkatkan agar maksimal. Ada beda pandangan di antara anggota Setgab itu biasa," kata Saan.


Sikap PDIP Soal Reshuffle Kabinet
Puan menegaskan PDIP tidak semata tertarik pada kursi dan jabatan di kabinet.

Isu bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melakukan reshuffle kabinet kian kencang. PDI Perjuangan, yang selama ini beroposisi terhadap pemerintahan SBY, dikabarkan mendapat kursi menteri dalam reshuffle kali ini.

Kabar ini sesungguhnya mulai merebak menyusul pertemuan antara dua politisi partai itu, Taufiq Kiemas dan Puan Maharani dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat Lebaran lalu. Kabar itu kian kencang sepekan belakangan.

Namun Puan menepis kabar itu. Soal pertemuan saat Lebaran itu, Ketua Bidang Politik DPP PDIP ini menegaskan bahwa memelihara silaturahmi dan komunikasi dengan siapapun, kapan pun, dan di manapun, adalah hal yang harus dilakukan.

Oleh karena itu, semua pihak diharap memahami hal itu dan tidak terlampau semangat mengasumsikan PDI Perjuangan akan berkoalisi dalam pemerintahan. Sebab, tegas puan, bagaimana pun sikap PDI Perjuangan tidak akan lepas dari keputusan Kongres ke III di Bali pada April lalu bahwa partai banteng moncong putih ini adalah penyeimbang yang mengkritisi pemerintahan.

"Posisi kami tetap sesuai dengan keputusan kongres yang lalu. Sudah jelas bahwa sikap partai ini adalah untuk mengkritisi dan check and balance terhadap pemerintah," kata Puan di DPR RI, Jakarta, Selasa 19 Oktober 2010.

"Kita lihat saja ke depan. Karena sampai saat ini sikap kami belum berubah. Kalaupun kemudian ada komunikasi dan silaturahmi, itu pasti akan tetap dilakukan terhadap siapapun dan di mana saja," tambah puan.

Puan menegaskan politik bukan semata-mata urusan kursi menteri, tapi juga menjaga komitmen. Dan komitmen partai ini diputuskan dalam kongres mengikat partai ini. Komitmen dan visi partai adalah pada kesejahteraan rakyat kecil.

Puan melihat bahwa pemerintah punya niat baik mengubah kondisi, terutama kesejahteraan rakyat. Meski, lanjutnya, pemerintah belum berhasul merealisasikan niat itu. "Kita lihat orang-orang yang membantu presiden dan pemerintahan ke depan ini, apakah mereka mumpuni dan bisa memberikan kinerja yang lebih baik" tandas Puan.


Koalisi SBY: Siapa Masuk, Siapa Keluar?
Jika PKS dan Golkar dikeluarkan, Demokrat harus menggandeng PDIP dan Gerindra sekaligus.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Pendirian Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera mendukung usulan Angket Mafia Perpajakan berbuntut panjang. Meski inisiatif itu kandas, sejumlah politisi Demokrat kini mendesak keberadaan PKS dan Golkar dalam koalisi pemerintahan SBY dievaluasi, bahkan dikeluarkan.

"Pemerintah masih akan bisa berjalan, kok. Tidak masalah walau tanpa PKS dan Golkar," kata Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah di sela-sela diskusi Partai Demokrat di Jakarta, Kamis, 24 Februari 2011. "Apa gunanya koalisi kalau harus selalu terganggu dengan interupsi-interupsi seperti itu. Jika memang tidak ada kesamaan, artinya bukan koalisi."

Lebih jauh, Jafar bahkan menyatakan, apabila tidak juga dicapai titik temu antar mitra dalam isu-isu strategis, koalisi sebaiknya dibubarkan saja. Buat Jafar, usulan angket perpajakan itu adalah salah satu soal strategis. "Kalau banyak ketidaksamaannya, bukan koalisi namanya," kata Jafar.

Jafar seperti sedang menggemakan pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum saat membuka diskusi Demokrat itu. Anas melontarkan pernyataan keras tentang koalisi saat ini. Ia bahkan mendesak Presiden Yudhoyono untuk segera mengambil sikap soal ini. "Sudah saatnya Presiden sebagai pemimpin koalisi harus menetapkan masa depan koalisi," kata Anas. "Koalisi harus lebih mengutamakan persamaan, bukan perbedaan," ujar Anas.

Bunga-bunga Saja

Akan tetapi, Wakil Ketua DPR RI dan mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Pramono Anung, berpendapat lontaran Jafar dan Anas itu sekadar bunga-bunga saja. Menurut Pram--demikian Pramono disapa--Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat adalah seorang politisi yang selalu bersikap terukur dan terencana.

"SBY hati-hati. Tidak ada hal luar biasa, tidak ada perubahan koalisi. Dalam hal ini Golkar paling cerdas memahami karakter Pak SBY," Pram memprediksi.

Koleganya dari Golkar seperti Priyo Budi Santoso, kata Pram, tahu benar bahwa posisi Golkar baru tidak aman ketika PDI Perjuangan masuk barisan koalisi. "Dari beberapa diksi yang digunakan Mas Priyo bernada menantang, saya yakin dia (Priyo) meyakini Pak SBY tidak akan mengeluarkan Golkar selama Bu Megawati tidak mengatakan 'ya' (masuk koalisi)," Pram menjelaskan.

Ditanya wartawan soal desakan Demokrat itu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie usai menghadiri acara ulang tahun ke-3 tvOne mengatakan, "Demokrat tidak berhak mengevaluasi. Yang mengevaluasi itu harusnya Presiden," kata Aburizal Bakrie di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis 24 Februari 2011.

Menurut politisi yang akrab disapa Ical ini, Golkar tidak khawatir dengan posisi Partai Beringin dalam Sekretariat Gabungan Koalisi Pemerintahan SBY. Perbedaan prinsip dan pendapat dalam berpolitik, dia nilai sebagai sesuatu hal yang wajar. "Koalisi ya tetap. Beda pendapat itu sah-sah saja," ujar Aburizal.

Sejalan dengan Aburizal, Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso juga mengatakan partainya dalam posisi menunggu sikap resmi Presiden SBY sebagai pemimpin koalisi. Priyo yakin dalam satu dua minggu ini akan ada perkembangan baru.

"Golkar dalam posisi menunggu sinyal. Apakah itu sinyal Presiden atau seperti kata Mas Pram, bunga-bunga tadi," kata Priyo.

Priyo menyatakan tidak melihat tanda-tanda Golkar akan didepak dari koalisi. Golkar sendiri, kata Priyo, tidak akan mengambil inisiatif untuk keluar. "Patut disayangkan kalau hanya karena angket pajak koalisi berantakan. Sekretariat Gabungan Koalisi sejak awal dirancang bukan untuk menyeragamkan," ujar Priyo.

Soal 'pembelotan' Gerindra ke barisan penolak angket pajak, Priyo menyatakan, "Saya tidak setuju langkah Gerindra dipolemikkan. Menurut saya, itu patut diapresiasi. Kita menunggu apakah akan masuk koalisi atau seperti sekarang. Kita tunggu satu dua minggu ini."

Soal bakal masuknya politisi Gerindra ke kabinet SBY sudah ramai. Ini gara-gara beberapa tokoh Demokrat sudah langsung bicara Partai Gerindra perlu diberi imbalan yang sepadan untuk aksi mereka berbelok arah itu.

Lantas bagaimana dengan PKS?

Mantan Presiden PKS, Tifatul Sembiring, juga menyatakan perbedaan soal angket ini seharusnya bisa diatasi dengan membuka jalur komunikasi yang intensif. Menurut Tifatul, yang sekarang Menteri Komunikasi dan Informatika itu, harus diwasapadai keberadaan pihak-pihak tertentu yang gemar mengompori dan hampir setiap hari bicara reshuffle kabinet, padahal itu adalah ranah prerogatif Presiden.

"Ada yang belum baca isi kontrak politik, tapi rajin berkomentar. Ada yang baru bergabung, tidak berjuang dan tidak keringat, tapi ikut memanas-manasi keadaan," katanya. "Ayolah, bangun kematangan berpolitik bangsa ini."

Suara Istana

Sebelum berangkat ke Brunei Darussalam mendampingi Presiden SBY pada Kamis pagi, 24 Februari 2011, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menyempatkan diri menjawab pertanyaan media soal koalisi. Julian membenarkan terkesan ada ketidaksolidan koalisi dalam isu usulan Angket Mafia Perpajakan.

"Saya baca di media, katanya ada partai koalisi yang merasa seperti diancam," kata Julian. "Tapi terus terang itu bukan dari internal pemerintah, bukan dari kami."

Menurut Julian, soal itu bersumber dari analisis sejumlah pengamat politik.

Soal reshuffle kabinet, Julian memberi jawaban mengambang. "Bahwa itu ada atau tidak, kembali kepada bagaimana Bapak Presiden melihat urgensi hal tersebut. Sampai sejauh ini belum. Kalau pun ada, itu berdasarkan rasional atau alasan-alasan tertentu, dan sekali lagi itu melekat pada hak prerogratif Presiden. Hal tersebut sah-sah saja dan bisa terjadi kapan saja," ujarnya.

Mengocok ulang koalisi, kata peneliti senior Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi, tak semudah membalik telapak tangan. Jika PKS dan Golkar secara bersamaan dikeluarkan, maka Demokrat harus menggandeng PDIP dan Gerindra sekaligus. Jika tidak, koalisi partai pendukung pemerintah terancam akan menjadi minoritas di parlemen.

Jika PKS saja yang dikeluarkan, fondasi koalisi masih lumayan kokoh apalagi jika ditambah mitra baru seperti Gerindra. Namun, masih kata Burhan, harus diperhitungkan bahwa PKS akan tumbuh menjadi pesaing yang potensial. Berdiri di luar pemerintahan akan berpotensi memperkuat barisan pemilih mereka.

Sementara itu, jika Golkar saja yang didepak dari koalisi, praktis Demokrat harus mengandalkan topangan partai-partai Islam, selain Gerindra--jika benar akan ditarik masuk ke dalam. Resikonya, di parlemen kelompok oposisi akan memiliki daya tawar yang lebih tinggi dan parlemen niscaya akan semakin hiruk-pikuk.

PDIP Gabung Koalisi, Demokrasi Tak Sehat
"Tidak ada lagi check and balance yang sehat. Artinya akan ada keheningan demokrasi."
  Partai Golkar tidak keberatan jika PDIP memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah. Hanya, berubahnya haluan politik partai oposisi itu dikhawatirkan akan menciptakan keheningan demokrasi.

"Yang jadi soal, tidak ada lagi check and balance yang sehat. Hampir dipastikan, keputusan politik strategis bisa selesai di seperempat kamar. Artinya ada keheningan demokrasi. Itu yang akan terjadi," kata politisi senior Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, Kamis, 21 Oktober 2010.

Sinyal bergabungnya PDIP ke koalisi itu mulai tampak pada Lebaran lalu saat Taufiq Kiemas dan Puan Maharani bersilaturahmi ke Istana. Meski demikian, Priyo sedikit ragu bahwa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bisa dengan mudah haluan politiknya secepat itu.

Menurut Priyo, kuncinya ada di Megawati yang sudah terlanjur memiliki citra kuat sebagai oposisi. "Kemudian bisa dengan cepat berubah bergandeng tangan dengan Presiden Yudhoyono, saya masih spekulatif soal itu," ujarnya.

Golkar tak ingin mencampuri soal itu. Persoalan koalisi merupakan kewenangan presiden. "Itu yang memutuskan sepenuhnya adalah PDIP bersama Demokrat. Kami tidak ada pilihan lain, ya setuju saja," ujarnya.

Terbukanya Golkar terhadap PDIP juga disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Namun, Aburizal mengingatkan bahwa koalisi tidak diartikan sebagai bagi-bagi kekuasaan di kabinet. "Kabinet untuk orang-orang yang dinilai bagus. Bukan hanya bagi-bagi, bukan berdasarkan kursi. Tapi dari kemampuannya," ujarnya.

Tidak ada komentar: