Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: TAMPA ASURANSI: HARGA OBAT TAK BISA DI KENDALI

Rabu, 23 Februari 2011

TAMPA ASURANSI: HARGA OBAT TAK BISA DI KENDALI

INDONESIA GLOBAL


Tanpa Asuransi, Harga Obat Tak Bisa Dikendalikan

Ruang stok obat dan pelayanan resep di depo farmasi rawat jalan untuk pasien umum di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, Senin (21/2). Instalasi Farmasi RS Fatmawati per bulan rata-rata melayani 24.128 lembar resep dari pasien rawat jalan dan 139.718 lembar resep dari pasien rawat inap, baik pasien yang menggunakan fasilitas Askes, Jamkesmas, maupun pasien umum.

Jakarta, Kompas - Selama harga obat dilepas ke pasar bebas, harga obat sulit dikendalikan. Demikian pula kolusi dokter-farmasi. Tidak akan ada efek pengaturan harga obat terhadap keterjangkauan masyarakat terhadap obat, kecuali lewat asuransi kesehatan sosial yang mencakup seluruh penduduk.

Hal tersebut dikatakan Guru Besar Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, Selasa (22/2) di Jakarta. Menurut dia, akibat kesenjangan pengetahuan kedokteran, masyarakat tidak memiliki kendali untuk menentukan obat yang digunakan sehingga tergantung dari dokter yang memilihkan.

Untuk itu, perlu ada badan yang bertindak untuk kepentingan masyarakat dalam menekan harga obat. Di negara-negara maju, perangkatnya adalah asuransi kesehatan sosial. Perusahaan farmasi bisa menurunkan harga obat karena ada pasar yang pasti (asuransi) dan tidak perlu mengeluarkan biaya promosi obat ethical (obat yang hanya bisa digunakan dengan resep) kepada para dokter.

Adapun negara Asia yang menerapkan asuransi kesehatan sosial antara lain Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Korea Selatan.

Menurut Hasbullah, implementasi asuransi kesehatan sosial yang diamanatkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terhambat karena pemerintah tidak punya niat untuk menjalankan. Pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menjadi syarat pelaksanaan asuransi kesehatan sosial di DPR kini mandek. ”Alasan Menkeu, pemerintah tidak siap untuk membahas RUU tersebut,” kata Hasbullah.

Pemerintah berkeras, agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan menjadi BPJS, yakni PT Jamsostek (Persero) dan PT Askes (Persero), berubah menjadi perum. Padahal, UU SJSN mengamanatkan BPJS adalah badan hukum khusus yang bersifat nirlaba, di mana tidak ada laba, melainkan surplus yang bukan menjadi obyek pajak. Contoh badan hukum khusus adalah BI.

”Dengan menjadi perum, kedua badan itu tetap tunduk pada UU BUMN dan bertentangan dengan UU SJSN. Walau tidak lagi menyetor keuntungan kepada pemerintah, tetapi tetap terkena pajak. Misalnya, ada pendapatan Rp 2 triliun setidaknya akan kena pajak Rp 600 miliar. Dana itu seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan peserta asuransi,” kata Hasbullah.

Jika menjadi badan hukum khusus, kontrol tidak lagi di bawah pemerintah, melainkan di DPR. Direksi juga harus diangkat lewat fit and proper test oleh DPR.

Menteri BUMN Mustafa Abubakar di sela-sela rapat kerja kabinet di Bogor, Jawa Barat, menyatakan, pemerintah menilai, tidak perlu mengubah status PT Jamsostek (Persero), PT Askes (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero) untuk menjalankan program jaminan sosial. Keempat BUMN tersebut dinilai sudah memenuhi syarat menjadi BPJS karena tidak lagi menyetor dividen ke pemerintah. Jadi tinggal memperluas layanan.

Di sisi lain, ternyata Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) belum melindungi seluruh penduduk miskin. Sejumlah jenis obat tidak masuk dalam daftar obat yang ditanggung. Akibatnya, pasien dengan penyakit tertentu rentan terkena dampak mahalnya harga obat.

Hal tersebut dituturkan oleh Ketua Forum Pers RS dr Soetomo Surabaya, Urip Murtedjo. Obat yang tidak ditanggung Jamkesmas biasanya obat penyakit berat, seperti obat pascaoperasi jantung.

Mendesak dibentuk

Peneliti pelayanan publik dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, menyatakan, pemerintah perlu segera mengimplementasikan sistem jaminan sosial. RUU BPJS perlu segera diundangkan. Hal tersebut dipandang sebagai solusi untuk menjamin setiap warga negara mengakses layanan kesehatan.

Survei yang dilakukan ICW pada 986 pasien miskin pemegang kartu Jamkesmas, Jamkesda, keluarga miskin, dan surat keterangan tidak mampu di 19 rumah sakit pemerintah dan swasta di Jabodetabek sepanjang 13 Oktober-13 November 2010 menunjukkan,

47,3 persen responden mengeluhkan pelayanan tim medis (dokter dan perawat), uang muka, penolakan pelayanan kesehatan, dan fasilitas. Kadang-kadang pasien ditolak dengan alasan tempat tidur penuh, tidak memiliki peralatan, dokter, atau obat yang memadai.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan, pemerintah kesulitan menerapkan asuransi kesehatan sosial secara nasional. Alasannya, ada beragam standar atau sistem asuransi kesehatan yang ada, misalnya ada Askes, Jamsostek, dan Jamkesmas.

Pemerintah sedang menyamakan benefit packages (aspek yang dicakup asuransi) dan tata cara klaim dari pelbagai asuransi tersebut.

Tidak ada komentar: