Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: Dr. HENDRY SUBIAKTO: DIPO ALAM TIDAK BERSALAH

Minggu, 27 Februari 2011

Dr. HENDRY SUBIAKTO: DIPO ALAM TIDAK BERSALAH

INDONESIA GLOBAL



Henry Subiyakto: Dipo Alam Tidak Salah

Sabtu, 26 Februari 2011 20:33 WIB | 622 Views

Sekretaris Kabinet Dipo Alam

Dr Henry Subiakto, pengajar Hukum Media di FISIP Unair menegaskan tidak ada yang salah dengan Dipo Alam, baik secara hukum maupun etika komunikasi.

Ia mengatakan itu melalui hubungan telepon seluler, Sabtu, sehubungan sikap Dipo Alam yang menginstruksikan pemboikotan (iklan maupun informasi) terhadap media tertentu, karena dinilainya menjelek-jelekkan pemerintah.

Pernyataan Dipo Alam ini sekaligus sikapnya tidak mau meminta maaf, telah menimbulkan kontroversi, sekaligus dianggap bisa merusak citra Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, karena sejak era reformasi tidak lagi dikenal pembahasan informasi hingga pembreidelan.

Akibat pernyataan dan sikapnya itu, `Media Group melayangkan somasi kepada Dipo Alam yang batas waktunya hari ini.

Namun, bagi Henry Subiyakto, dua media yang disebut Dipo Alam itu memang berkali-kali sudah melanggar etika media maupun Undang Undang (UU) Penyiaran.

"Karena mereka juga pernah diperingatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)," ungkapnya.

Ia lalu mengingatkan objektivitas, atau imparsialitas dalam pemberitaan maupun program `current issues` di televisi (TV) memang wajib hukumnya dilakukan secara imparsial.

"Itu adalah ketentuan UU Penyiaran maupun P3 SPS yang dikeluarkan KPI. Nah, dua TV itu sering melanggarnya. Makanya logis kalau Dipo mengeluh atau komplain terhadap dua TV itu," ujarnya.

Sebab, menurutnya, dia sebagai Pemerintah memang merupakan korban dari ketidaknetralan itu.

"Tapi ini menjadi kontroversi karena yang bicara adalah seorang selevel menteri. Tapi ini dia adalah korban, dan `statement` Dipo tidak ada pengaruhnya terhadap kebebasan pers," tegasnya.


Media itu `Power`

Henry Subiyakto berpendapat, sekarang ini media itu jangan hanya dilihat sebagai kekuatan demokrasi semata, tapi juga merupakan `power`, yang bisa `tends to corrupt` kalau tidak ada kontrol.

"Apalagi media yang dimiliki oleh konglomerat yang sekaligus politisi yang memiliki agenda politik," ujarnya.

Dikatakannya banyak bukti menunjukkan TV berita sering dipakai sebagai `political tools` oleh pemiliknya, sehingga imparsialitas diabaikan.

"Padahal setiap TV itu selalu menggunakan `public domain`, yaitu frekuensi. Pemilik frekuensi adalah publik. Publik itu beragam aspirasi politiknya, agamanya ataupun parpolnya," katanya.

Makanya, lanjutnya, menggunakan frekuensi tidak bisa seenaknya, harus imparsial.

"Sekarang sejauh mana media-media yang ditunjuk pak Dipo itu sudah imparsial atau tidak memihak," katanya.

Pada bagian lain, Henry Subiyakto mengatakan, imbauan boikot di masyarakat demokrasi itu biasa.

"Jadi jangan berlebihan, seakan boikot itu adalah arogansi atau membahayakan kebebasan pers," tegasnya.

Ia mengingatkan, yang harus dicermati, ialah sejauh mana dua televisi ini sudah menaati P3 SPS dari KPI dan UU Penyiaran.

"Jangan malah menyalahkan pak Dipo atau Pemerintah yang memang seringkali diperlakukan tidak adil dalam program-program atau pemberitaan dua televisi itu," katanya.

Kalau media cetak, menurut dia, memang relatif lebih bebas, karena tidak menggunakan frekuensi.

"Potensi pelanggarannya hanya persoalan etika. Tapi untuk TV memang aturan di berbagai negara amat ketat. Di Inggris tahun 1999 bahkan ada TV yang ditutup oleh `KPI` Inggris, karena melanggar azas imparsialitas," ungkapnya.

Ketika itu, lanjutnya, media TV dalam memberitakan kasus Abdullah Ochalan dari Turki selalu hanya satu sisi, sehingga diperingatkan oleh `KPI` Inggris (sekarang `OFCOM`) sampai tiga kali.

"Karena tetap melanggar, TV `Satelit` itu pun ditutup selama tiga bulan, dan baru boleh siaran lagi setelah menandatangani kesanggupan untuk netral. Nah kalau Inggris saja menjaga netralitas, sebab itu merupakan hal mutlak, bagaimana dengan Indonesia," tanyanya.

Jadi, demikian Henry Subiyakto, dari realitasnya memang ada masalah dengan netralitas TV berita kita, sehingga itu yang harus diperhatikan.


Aburizal: Di Era Demokrasi Tidak Baik Mengancam

Aburizal Bakrie.



Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya (Golkar), Aburizal Bakrie, mengatakan bahwa di era demokrasi dan masa keterbukaan seperti saat ini tidak baik ada ancam-mengancam.

"Tidak baik ancam-mengancam begitu," katanya kepada wartawan menanggapi polemik ancaman Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam kepada sejumlah media usai panen raya Program Demplot Pupuk Organik Biodekomposer di Desa Kubang Puji, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten, Rabu.

Ical, demikian nama panggilan Aburizal, yakin Dipo Alam tidak bermaksud menyampaikan ancaman sekeras itu.

Ia justru menduga Dipo Alam hanya selip lidah (slip of the tongue) saja.

"Saya kira itu slip of the tongue," katanya. Ia menilai, ancaman tidak cocok di zaman sekarang.

Sementara itu, Komisi II DPR RI menyayangkan pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang mengancam memboikot tidak memberi akses informasi dan iklan terhadap media massa yang pemberitaaannya mengkritisi pemerintah.

"Pernyataan bapak mengenai boikot media massa adalah suatu hal yang aneh, karena media massa adalah salah satu pilar demokrasi di Indonesia," kata anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, di Jakarta, Rabu.

Hal tersebut dikatakan pada rapat dengar pendapat dengan Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto di Gedung DPR RI, Jakarta.

Menurut Nurul Arifin, apa yang dikatakan Dipo Alam soal boikot media massa adalah tidak lazim karena dilakukan oleh instrumen pemerintah.

Pemberitaan media massa yang mengkritisi pemerintah, menurut dia, merupakan kritik membangun sebagai kontrol sosial, kenapa pemerintah malah marah.

"Bersyukur masih ada media massa yang kritis. Bagi saya media massa adalah institusi yang dipercaya publik," katanya.

Nurul Arifin juga mengkritisi pernyataan Dipo Alam yang seolah-olah memprosisikan diri sebagai juru bicara Presiden.

Sementara itu, Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, menegaskan, tidak benar jika dirinya ingin membungkam kebebasan pers dan membungkam demokrasi.

"Sekarang banyak media massa yang menjelek-jelekan pemerintah. Saya tidak mengatakan mengkritik pemerintah, karena menjelek-jelekan pemerintah berbeda dengan mengkritik pemerintah," katanya.

Menurut dia, pemerintah tidak anti kritik, pemerintah bisa menerima kritik dari siapapun.

Dipo Alam menambahkan, dirinya sudah mempelajari Undang-Undang (UU) Nomor 40/1999 tentang Pers, dn UU Nomor 3/2002 tentang Penyiaran, serta kode etik jurnalistik, meskipun hanya sebagian.

Wartawan dalam menjalankan tugasnya, kata dia, selalu menguji informasi dan menyajikan berita secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas-asas praduga tidak bersalah.


Media Group Memberikan Somasi Dipo Alam



Kuasa Hukum Media Group OC Kaligis.

Metro TV dan Media Indonesia melayangkan somasi ke Sekretaris Kabinet Dipo Alam terkait pernyataannya yang dinilai membelenggu kemerdekaan pers yaitu meminta agar kementerian tidak memasang iklan atau menjadi narasumber terhadap media tertentu.

"Kami meminta Dipo Alam meminta maaf ke publik dan mencabut pernyataannya yang dikatakan pada 21 Februari 2011," kata kuasa hukum Media Group, OC Kaligis, di Jakarta, Rabu.

Dipo Alam diberi ultimatum untuk menyampaikan permohonan maaf ke publik dan mencabut pernyataannya itu dalam waktu 3x24 jam ke depan. "Jika tidak, kami (Media Group) akan menempuh jalur hukum," katanya.

Dikatakan, akibat tindakan dari Dipo Alam tersebut, maka bisa diancam dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 51 dan Pasal 52 UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

"Ancamannya, yakni, pidana penjara dua tahun dan denda Rp500 juta," katanya.

Ia menambahkan Dipo Alam tidak layak mengeluarkan pernyataan itu yang membelenggu kebebasan pers, karena seperti diketahui media itu merupakan pilar dari demokrasi.

Sebelumnya Dipo Alam meminta media massa untuk berimbang dalam melakukan pemberitaan, tidak tendensius dan tidak menyebarkan kebencian dan ketakutan.

"Media massa sebagai salah satu pemangku kekuasaan. Tolong gunakan kekuasaan itu secara berimbang dan tidak tendensius dan terus menerus menyebarkan kebencian," kata Dipo Alam kepada ANTARA, di Jakarta, Selasa (22/2), mengenai pernyataan meminta instansi pemerintah memboikot, antara lain dalam bentuk iklan dan tidak hadir jika diundang, terhadap media massa yang tidak berimbang (menjelek-jelekkan) dan tendesius dalam melakukan pemberitaan.

Dipo mengatakan bahwa pernyataannya tersebut benar dan dia siap memberikan keterangan kepada Dewan Pers jika diminta.

Namun, katanya, media yang seperti itu hanya sedikit dan secara umum masih berimbang.

Tidak ada komentar: