INDONESIA GLOBAL
Film Hollywood Aturan Perfilman Harus Lebih Sehat
ARWAH GOYANG KARAWANG
Suasana gedung bioskop
Pemerintah akan mencari jalan keluar sebagai respons keberatan importir film atas ketentuan perpajakan yang mengakibatkan asosiasi produsen film Amerika Serikat menyatakan tak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia. Pemerintah juga perlu meninjau ulang perpajakan film untuk menjadikan industri ini lebih sehat dan kompetitif.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Industri Kementerian Perekonomian Edy Putra Irawady menyampaikan hal itu secara terpisah di Jakarta, Sabtu (19/2/2011).
Sebelumnya, Wakil Presiden Motion Pictures Associatian (MPA) untuk Asia Pasifik, Frank S Rittman, Kamis lalu, menyatakan bahwa asosiasi produsen film besar dari AS ini memutuskan untuk tidak mendistribusikan film di Indonesia selama pemerintah tetap memberlakukan ketentuan perpajakan yang baru terkait pengenaan royalti film impor.
Pada 10 Januari 2011, pemerintah menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemasukan Film Impor. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan hal ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan dalam industri perfilman di Indonesia.
Surat edaran ini menyebutkan, penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu merupakan royalti yang dikenai PPh 20 persen. Pengenaan pajak royalti untuk film impor merupakan hal baru, sedangkan royalti film nasional sudah lebih dulu dikenai pajak.
Pajak royalti untuk film nasional ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dari Hasil Karya Sinematografi.
Selain mengatur ketentuan pajak royalti film impor, Surat Edaran Dirjen Pajak yang diterbitkan Januari lalu juga mengubah perhitungan PPN yang selama ini dikenakan pada film impor.
Sebelumnya, film impor dikenai bea masuk, PPN, dan PPh hanya berdasarkan panjang film, tanpa memperhitungkan jenis dan harga film.
”Kami kenakan sekitar 0,43 dollar AS per meter sebagai dasar pengenaan untuk bea masuk dan juga pengenaan PPN dan PPh,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Suryo Utomo saat mengumumkan penerbitan Surat Edaran Dirjen Pajak ini, Januari lalu.
Tidak kompetitif
Terbebasnya film impor dari pajak royalti selama ini serta rendahnya pengenaan tarif bea masuk, PPN, dan PPh untuk film impor dinilai turut mengakibatkan industri film nasional tidak kompetitif bersaing dengan film impor di negeri sendiri.
”Sebagai sebuah karya atau barang jadi, film yang masuk ke Indonesia memiliki dua aspek perpajakan, yaitu sebagai barang impor dan adanya pembayaran royalti atau pemanfaatan hak atas film tersebut oleh pihak yang diizinkan untuk mengedarkan,” ujar Suryo Utomo.
Pengenaan tarif dengan dasar perhitungan nilai yang tetap, yakni 0,43 dollar AS per meter film, dirasa merugikan karena harga sebuah film yang diimpor bisa jauh lebih mahal dari itu. Oleh karena itu, pengaturan kembali dinilai penting.
Secara terpisah, Edy Putra Irawady menegaskan, kenaikan tarif perpajakan atas film impor sebagai barang jadi sebenarnya merupakan hal wajar. Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengizinkan negara anggotanya, termasuk Indonesia, untuk melindungi industri dalam negerinya dengan menerapkan bea masuk pada barang jadi yang masuk ke pasar domestiknya.
”Saya pikir itu wajar kalau ada tarif bea masuk untuk barang jadi (film impor). Sebab, sudah menjadi hak kita di WTO untuk menerapkan tarif bea masuk, bahkan hingga 40 persen,” katanya.
Meski demikian, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan, pemerintah masih akan membahas ketentuan perpajakan ini dengan pihak importir film. Dengan begitu, Pemerintah Indonesia, masyarakat penonton film di Indonesia, ataupun para importir film sama-sama tidak menjadi pihak yang dirugikan. ”Pemerintah dan importir sedang mencari win-win solution atas ketentuan itu,” ujarnya.
Bioskop terancam
Terkait keputusan MPA, bioskop di seluruh Indonesia sejak 17 Februari lalu tidak bisa lagi memutar film-film Hollywood milik sejumlah produsen besar anggota MPA. Hal ini meresahkan pengusaha bioskop dan penonton film di Indonesia.
Pendiri dan konseptor Blitzmegaplex, Ananda Siregar, mengatakan, jumlah film Hollywood yang diputar Blitz selama ini sekitar 80 hingga 90 judul per tahun atau sekitar dua pertiga dari semua judul film yang diputar Blitz. Selebihnya, jaringan bioskop ini memutar film nasional dan film asing non-Hollywood. ”Jadi, dampaknya sangat negatif. Kalau berkelanjutan itu menyusahkan,” ujar Ananda.
Dijelaskan Ananda, distributor film asing non-Hollywood sebenarnya bisa mengisi kekosongan film Hollywood di bioskop-bioskop Indonesia. Namun, ia khawatir distributor film asing lainnya juga akan berkeberatan karena ketentuan bea masuk ini berlaku bagi semua film impor.
Film nasional juga bisa didorong untuk mengisi layar Blitz. Namun, langkah itu tidak bisa dalam jangka pendek. ”Produksi film lokal memang bisa digenjot, tetapi prosesnya kan makan waktu. Kalau pasokan saat ini belum mencukupi,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia Djohny Sjafruddin berpendapat, kebijakan pemerintah ini justru bisa mengancam industri perfilman nasional. ”Secara umum, industri ini terdiri dari sektor hulu dan hilir. Yang akan hancur adalah hilirnya, yakni bioskop, karena sebagian besar bioskop memutar film asing, terutama dari AS,” ujarnya.
Berdasarkan data Lembaga Sensor Film, pada tahun 2010 terdapat 180 film impor dan 81 film nasional yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air. ”Film nasional belum secara permanen bisa menunjang bioskop. Jadi, kalau pasokan film Barat tidak ada, industri bioskop akan hancur duluan,” ujar Djohny.
Kekurangan pasokan ini tercermin di situs web 21cineplex misalnya. Agenda film yang akan tayang hingga Sabtu kemarin hanya diisi dengan empat film nasional: Tebus, Pocong Ngesot, Rumah Tanpa Jendela, dan Cewek Saweran.
Tantowi: Ini Peluang dan Tantangan Sabtu, 19 Februari 2011 | 15:07 WIB
Ketua Yayasan Anugerah Musik Indonesia, Tantowi Yahya didaulat membacakan nominasi lifetime achivement pada ajang penghargaan bagi insan musik Indonesia, AMI AWARDS ke 13 yang mengambil tema eksistensi musik Indonesia di JITEC Mangga Dua Square, Jakarta, Rabu (9/6/2010) malam.
Dengan ditariknya film-film Hollywood dari bioskop-bioskop di Indonesia, menurut anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Tantowi Yahya, ini menjadi satu peluang besar bagi industri film nasional.
Kepada Tribunnews.com di Jakarta, Sabtu (19/2/2011), Tantowi melihat ini waktunya perfilman nasional memanfaatkannya dengan tetap mengutamakan kualitas untuk merebut hati penonton.
"Peluang besar bagi film nasional untuk memenuhi teater-teater yang selama ini didominasi film-film Hollywood," ujarnya.
Selain melihat hal ini sebagai peluang besar, dia juga menilai bahwa ini sekaligus tantangan bagi pegiat film nasional agar lebih produktif. Unsur kreativitas jangan sampai lekang saat menggarap industri perfilman nasional.
"Ini sekaligus menjadi tantangan bagi pegiat film kita untuk lebih produktif tanpa meninggalkan kreativitas," ujar Tantowi.
Chand Parwez: Dampaknya, Bioskop Bisa Mati Sabtu, 19 Februari 2011 | 10:32 WIB
Chand Parwez
Direktur Utama PT Kharisma Jabar Film, Chand Parwez Servia, mengaku prihatin dengan keputusan pemerintah yang melakukan perubahan terkait penetapan bea masuk atas hak distribusi film impor. Sambil menunggu negosiasi yang dilakukan dirinya bersama sejumlah pengusaha bioskop di Tanah Air, Parwez belum mau bicara banyak.
Sebagai distributor film di Jawa Barat, khususnya di Bandung, PT Kharisma Jabar Film saat ini masih menayangkan film asal AS, tapi bukan film baru melainkan stok yang ada.
"Kita masih menayangkan. Ya, stok yang ada saja. Kita harus jujur, memang film Indonesia mungkin saat ini sudah berkembang bagus. Tapi, kan ada waktunya film Indonesia juga lesu. Nah, kalau sudah begitu bagaimana? Sementara, tidak ada film luar yang masuk. Dampaknya, bioskop kita mati," kata Parwez yang sudah bertahun-tahun melalui PT Kharisma Jabar Film menjadi distributor film di Jawa Barat saat dihubungi lewat telepon, Jumat (18/2/2011) malam.
Kebijakan pemerintah yang tiba-tiba kini masih menjadi perbincangan di kalangan pengusaha bioskop di Tanah Air. Parwez bersama para pengusaha bioskop masih berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut.
Saat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Parwez mengatakan, Motion Picture Associated (MPA) mewakili sejumlah perusahan film asing sudah resmi menarik semua film asing yang beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Film asing yang ditarik dari penayangannya bukan hanya film lama saja, tapi film yang baru beredar pun sudah ditarik.
"Ada perbedaan cara pandang antara pihak MPA dengan pemerintah Indonesia. Tapi, terus terang sekarang saya belum bisa bicara banyak. Kita (pengusaha bioskop) masih berusaha melakukan pembicaraan. Nanti ya," kata Parwez.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar