Kamis, 24 Februari 2011
SUSU: KONTROVERSI BAKTERI '';E SAKAZAKII''
INDONESIA GLOBAL
Kontroversi Bakteri "E Sakazakii"
Sudaryatmo
Kontroversi tercemarnya susu formula kembali mencuat pascakeputusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan David Tobing agar membuka hasil penelitian IPB.
Polemik berawal dari kajian akademik Institut Pertanian Bogor yang meneliti 22 sampel susu formula yang beredar pada 2003-2006. Hasilnya, 22,73 persen terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii.
Penelitian ini ”bocor” ke publik dan menjadi polemik pada 2008. Polemik akhirnya reda meski IPB tetap tidak membuka merek produk yang diteliti. Kali ini, gema terasa lebih keras karena tampaknya makin banyak kepentingan yang terlibat.
Mendudukkan persoalan
Ada banyak hal yang bisa dikaji dari peristiwa ini. Pertama, seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian IPB sebenarnya adalah sebuah kajian akademis. Penelitian ini bertujuan untuk memberi masukan kepada produsen agar memperbaiki kinerja dan kepada pemerintah agar memperketat pengawasan.
Dengan demikian, ketika IPB meneliti ulang produk susu pada 2009 dan menemukan tidak ada lagi yang tercemar, sebenarnya IPB sudah benar karena tujuan pelaksanaan kajian akademiknya sudah tercapai. Apalagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah memperbaiki peraturannya sehingga produk yang beredar makin aman dikonsumsi.
Kedua, baik IPB, BPOM, maupun Kementerian Kesehatan adalah lembaga yang berbeda fungsi dan tanggung jawabnya. Meski sama-sama melakukan penelitian, tugas IPB adalah sebagai lembaga pendidikan. Kewajiban untuk melindungi publik berada di tangan BPOM dan Kemkes yang berfungsi mengawasi dan membuat regulasi. Dengan demikian, presentasi ilmiah IPB di DPR seharusnya sudah dapat diterima meski tidak menyebut nama produk yang diteliti.
Ketiga, penelitian dilakukan pada produk 2003-2006 yang sudah tidak beredar lagi di pasar. Dengan demikian, pengumuman nama produk itu sekarang sebenarnya tak banyak bermakna dan mungkin malah menimbulkan kepanikan yang tidak perlu.
Sebuah kajian akademis memang sebaiknya direspons dengan kajian akademis. Jangan sampai sebuah kajian akademis ”diadili” oleh sebuah proses politik. Selain tidak nyambung, pengalaman menunjukkan bahwa proses politik di Indonesia dalam banyak kasus lebih banyak menimbulkan persoalan baru daripada menyelesaikan masalah.
Untuk urusan hukum sebaiknya juga dikembalikan ke proses hukum. Lembaga politik, termasuk DPR, tidak seharusnya mencampuri proses hukum yang sedang berjalan. Apalagi pihak-pihak yang terkait juga telah memberikan komitmen untuk mematuhi putusan hukum.
Kontroversi ini tentu saja merepotkan para pihak. Tidaklah mengherankan apabila sebuah iklan besar sampai muncul di harian nasional. Bunyinya, ”Susu formula produksi anggota Asosiasi Perusahaan Makanan Bayi (APMB) aman dikonsumsi”. Di bawahnya tercetak sepuluh produsen susu formula yang beredar di Indonesia meski sebagian perusahaan multinasional.
Menggodok peraturan
Saat ini, sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah sedang menggodok peraturan pemerintah (PP) tentang promosi dan pemasaran susu formula. Harus diakui bahwa kepentingan bisnis susu formula di Indonesia yang cukup besar membuat pembahasan PP ini tidak sepi dari lobi.
Dilihat dari substansi regulasi untuk mengendalikan promosi dan pemasaran susu formula, draf RPP susu formula sudah banyak kemajuan. Namun, RPP ini masih membuka ruang bagi industri susu formula sebagai sponsor penelitian di bidang susu formula. Dari perspektif kepentingan publik, pasal ini sebenarnya cukup riskan karena bagaimana suatu penelitian tentang suatu produk bisa independen jika yang membiayai adalah produsen produk itu sendiri.
Sebagai entitas bisnis, sudah sewajarnya produsen berupaya untuk melapangkan kepentingan bisnisnya. Oleh karena itu, yang harus dibenahi adalah bagaimana mengembalikan otoritas negara—yang didanai dari pajak rakyat dan didirikan untuk melindungi kepentingan masyarakat— agar lebih serius melindungi kepentingan masyarakat banyak.
Dengan jumlah penduduk 237 juta orang, Indonesia adalah pasar potensial susu formula. Tanpa otoritas pemerintahan yang kuat, mereka akan menjadi korban.
Maka, di balik kontroversi bakteri E sakazakii, ”pertempuran” yang sebenarnya bukan sekadar membuka nama produsen susu formula dan makanan bayi yang tercemar, melainkan bagaimana menuntut tanggung jawab pemerintah untuk tidak dikooptasi produsen dan berpihak menjaga keamanan pangan rakyat.
Sudaryatmo Ketua Pengurus Harian YLKI
Label:
JAMBI GLOBAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar