Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: JANGAN LAGI KIRIMKAN PRT KE MALAYSIA

Senin, 14 Februari 2011

JANGAN LAGI KIRIMKAN PRT KE MALAYSIA

INDONESIA GLOBAL





Malaysia Kekurangan PRT


Ketergantungan Malaysia akan tenaga kerja asing murah sejak lama memaksa puluhan ribu keluarga negeri jiran saat ini mengalami kekacauan rumah tangga akibat berkurangnya jumlah pekerja rumah tangga belakangan ini.

Hampir dua juta orang asing, sebagian besar dari Indonesia, terdaftar bekerja di rumah-rumah, toko, pabrik, dan perkebunan Malaysia, dan banyak lagi tak terdaftar. Hal itu membuat Malaysia menjadi salah satu pengimpor terbesar tenaga kerja di Asia.

PRT dari Indonesia, yang membanting tulang untuk upah sebesar 400 ringgit (kurang dari Rp 1,3 juta) sebulan, tidak mempunyai undang-undang yang mengatur kondisi kerja dan banyak kasus penyiksaan yang mengejutkan membuat Jakarta memutuskan menghentikan pengiriman PRT baru pada Juni 2009.

Dalam upaya membendung penyiksaan terhadap pramuwisma yang diperkosa, disiram air panas, dan dikenai setrika panas itu, Pemerintah Malaysia dan Indonesia membuka perundingan untuk menyusun perjanjian resmi ketenagakerjaan.

Namun, perundingan itu terhenti oleh tuntutan Indonesia akan gaji minimum dan kemudian Indonesia memperpanjang larangan tersebut. Tak pelak, sekitar 35.000 rumah tangga di Malaysia pun kerepotan karena tak punya pembantu.

”Saya kerepotan tanpa pekerja rumah tangga,” kata Maz, ibu tiga anak yang mempertimbangkan berhenti bekerja sebagai tenaga staf bagian pembelian untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya yang berusia antara satu dan lima tahun.

Sejak menjadi seorang ibu yang bekerja, Maz telah memiliki dua PRT asal Indonesia yang tinggal dengan keluarga itu sampai kontrak dua tahun mereka selesai. Namun, ketika PRT-nya pergi pada September 2010, tidak ada pengganti.

Maz mengeluhkan, dia sekarang harus menitipkan anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga sepulang kerja sehingga dia berpikir untuk berhenti bekerja.

Persatuan Agen PRT Asing di Malaysia mengatakan, jumlah PRT asing di negara itu anjlok dari sekitar 300.000 orang sebelum larangan tersebut menjadi 170.000 orang sekarang. Kalau dahulu 3.500 PRT tiba per bulan, jumlah itu menjadi 1.000 orang, membuat 35.000 keluarga dalam daftar tunggu.

Organisasi-organisasi Hak Tenaga Kerja mengatakan, Malaysia harus mempersalahkan diri sendiri atas keadaan ini karena ketiadaan perlindungan hukum, rendahnya upah, dan kasus-kasus penyiksaan yang terus terjadi membuat PRT asing menghindari negara itu.

”Jelas bahwa kekurangan itu disebabkan cara kita memperlakukan pekerja rumah tangga kita. Kita memperlakukan mereka seperti budak,” kata Irene Fernandez dari kelompok pekerja migran Tenaganita. ”Ini saatnya untuk upah minimum.”

Setelah larangan 2009, Malaysia setuju untuk memberi PRT Indonesia satu hari libur per minggu dan diizinkan tetap memegang paspor mereka.

Indonesia meminta upah minimum 800 ringgit (260 dollar AS). Sebagai perbandingan, PRT di Hongkong menerima sedikitnya 460 dollar AS sebulan.


Pekerja Rumah Tangga Tuntut Naik Gaji

Senin, 14 Februari 2011 | 22:22 WIB

Puluhan orang yang tergabung dalam Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menggelar aksi damai dari Taman Parkir Abu Bakar Ali ke Titik Nol Kilometer untuk mendesak pemberian upah layak serta perlindungan bagi pekerja rumah tangga.

"PRT (Pekerja Rumah Tangga) sangat membutuhkan perlindungan, karena pada kenyataannya, profesi ini sangat rentan pada sejumlah kekerasan fisik, psikis, sosial dan ekonomi," kata Koordinator Aksi Henny di sela-sela aksi di Kota Yogyakarta, Senin (14/2/2011).

Kondisi kesejahteraan PRT juga masih belum layak, termasuk di dalamnya adalah upah yang masih sangat minim, bahkan rentan eksploitasi dan tidak disertai dengan jaminan kerja.

PRT juga merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar yaitu ada lebih dari 100 juta orang di dunia, dan di Indonesia ada sekitar empat juta orang dengan profesi yang sama dan di DIY terdapat sekitar 36.000 orang PRT.

Oleh karena itu, PRT mengajukan tiga tuntutan yaitu upah dan kerja layak bagi PRT, mendesak rancangan UU Perlindungan PRT segera disahkan serta menyusun perlindungan hukum bagi PRT di DIY.

Masalah lain yang juga masih dihadapi PRT, pekerjaan tersebut tidak diakui sebagai pekerjaan profesional karena dianggap sebagai pekerjaan informal, sehingga tidak ada kebijakan dari pemerintah yang benar-benar berpihak pada PRT.

"Selama ini, pemerintah belum berbuat banyak untuk PRT. Mereka cenderung hanya menunggu kasus untuk menyelesaikannya dan bukan melakukan pencegahannya," lanjutnya.

Sejumlah eksploitasi yang masih jamak dialami oleh PRT di antaranya adalah pemotongan upah, jam kerja selama 12-16 jam per hari yang beresiko tinggi pada kesehatan, tidak ada libur atau cuti mingguan.

"Mereka juga sangat bergantung pada kebijakan dari majikan," katanya.

Oleh karenanya, PRT menuntut segera dilakukan perbaikan upah agar layak dan bila diperlukan menyusun perlindungan hukum bagi PRT di tingkat kota dan kabupaten.


Kecelakaan
Belajar Renang, Dua PRT Tewas Tenggelam

Dua pembantu rumah tangga ditemukan tewas tenggelam di sebuah kolam renang sedalam 6 meter. Keduanya tewas saat sedang berlatih renang menggunakan galon air mineral.

Kedua korban tewas adalah perempuan bernama Darti (19) dan laki-laki bernama Taufik Hidayat (19). Darti adalah pembantu rumah tangga di rumah milik rekanan TNI bernama Danan S di Jalan Bangka IX Nomor 7, Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Adapun Taufik adalah teman Darti, juga pembantu rumah tangga di satu kompleks permukiman.

Darti dan Taufik ditemukan tenggelam di dasar kolam renang, Sabtu (15/1/2011) sekitar pukul 10.00. Keduanya tenggelam dalam posisi berpelukan di kolam berukuran 5 meter x 6 meter dengan kedalaman 6 meter.

Awalnya, Darti dan Taufik belajar berenang bersama rekan mereka, Doni. Namun, saat Doni istirahat meninggalkan kolam renang, keduanya tenggelam. Doni baru menemukan keduanya tenggelam setelah kembali lagi ke kolam.

Agus, seorang saksi, mengaku sempat mengevakuasi Taufik. Korban perempuan lebih dahulu diangkat dari kolam. "Keduanya kemudian dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi," katanya.

Saat ditemukan, Darti mengenakan baju hijau, sedangkan Taufik bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek. Di kolam itu polisi menemukan satu galon air mineral.

Menurut Agus, kolam renang tersebut biasa dipakai untuk berlatih renang. Kolam itu berbentuk L dengan dua bagian yang memiliki kedalaman berbeda. Satu bagian hanya berkedalaman sekitar 1,5 meter, sedangkan bagian lain berbentuk miring dengan kedalaman maksimal 6 meter.

Berlatih berenang

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Budi Irawan menyatakan, kedua korban diduga tenggelam saat berlatih renang. Dugaan ini diperkuat dengan adanya galon air mineral di kolam renang.

"Mereka tampaknya sedang berlatih berenang menggunakan galon air mineral. Galon itu kemungkinan mereka gunakan sebagai pelampung. Namun, rupanya mereka tak bisa menggunakan alat itu dan akhirnya tenggelam," kata Budi.

Lokasi tewasnya kedua korban adalah rumah milik rekanan TNI. Di garasi rumah itu terdapat mobil pikap bertuliskan "TNI AL". Saat polisi melakukan evakuasi, pemilik rumah tak mengizinkan wartawan masuk.


Perampok Diduga Bius dan Perkosa PRT

MOdus baru perampokan terjadi di Depok. Seorang lelaki berbaju koko dan berpeci bersama seorang perempuan berjilbab merampok rumah Yanto, karyawan perusahaan minyak, di Jalan H Kodja IV, Kukusan, Beji, Rabu (1/12/2010) sekitar pukul 10.00.

Perhiasan emas 25 gram dan sebuah telepon seluler digasak pasangan tersebut. Tidak hanya itu. Setia, pembantu rumah tangga, dibius dan diduga keras diperkosa.

Celana dalam Setia melorot hingga ke betis dan pada lantai di ruang tengah terdapat ceceran cairan yang diduga sperma. Polisi mengamankan saputangan berwarna putih yang digunakan untuk membius Setia.

Informasi yang diperoleh Warta Kota menyebutkan, Rabu sekitar pukul 09.30 Ny Erlina, istri Yanto, berangkat menjemput putrinya, Sofia, siswa kelas 2 SD. Beberapa menit kemudian, datang seorang lelaki berbaju koko dan seorang perempuan berjilbab yang langsung menuju pintu samping lalu berusaha masuk ke rumah lewat pintu belakang.

Melihat hal itu, Setia berusaha sekuatnya menahan pintu belakang dari dalam. Kedua tamu tak diundang itu berbalik arah menuju pintu depan, lalu si lelaki mendobrak pintu tersebut.

Begitu masuk, kedua orang itu menyergap Setia, yang saat itu sudah berada di ruang tengah, dan membekapnya dengan sapu tangan yang telah diberi obat bius.

Diduga, setelah Setia pingsan, kedua perampok itu masuk ke kamar Yanto. Mereka mengambil sejumlah perhiasan yang tersimpan lemari sebuah HP.

Sekitar setengah jam kemudian Erlina tiba di rumah. Begitu masuk, dia kaget melihat pembantunya tergeletak pingsan. Ibu lima anak itu pun menjerit-jerit minta tolong kepada tetangganya.

"Saya kaget denger teriakan minta tolong. Saya dan tetangga lain segera datang ke rumah Pak Yanto. Kami lihat Setia pingsan dan celana dalamnya melorot," kata Rizki, tetangga Yanto yang juga pemilik tempat kos Corner.

Menurut Yanto kepada polisi, dia merasa selama ini tidak punya musuh dan tidak pernah menyakiti orang. Karena itu, dia yakin apa yang terjadi di rumahnya itu murni merupakan perampokan. "Saya berharap pelakunya cepat tertangkap," katanya.

Kapolsektro Beji AKP Ngadi mengatakan, modus yang dipakai para perampok di rumah Yanto itu merupakan hal baru, yakni mereka berpakaian seperti orang baik-baik.

"Kalau soal pemerkosaan masih diduga. Karena, korban belum dapat dimintai keterangan. Cairan kental itu bisa saja air gula, tapi kami sudah bawa ke laboratorium untuk diperiksa apakah sperma atau bukan," ujarnya.

Menurut Ngadi, pihaknya masih melakukan penyelidikan untuk mengetahui apakah ada keterlibatan orang dalam atau warga sekitar, mengingat perampok itu mengetahui si pemilik rumah pergi atau suasana rumah sedang sepi.

Dikatakan Rizky, rumah Yanto sudah dua kali kemalingan dalam tiga tahun ini. Dengan peristiwa kemarin itu berarti rumah Yanto sudah tiga kali disatroni penjahat. "Daerah ini memang tidak aman. Tempat kos yang saya kelola saja kemalingan," katanya.

Menurut dia, setiap pagi rumah Yanto sepi karena Yanto bekerja, ketiga anaknya bersekolah, dan istrinya selalu menjemput anaknya di sekolah.

Beberapa warga setempat menduga pelaku perampokan itu mengenal penghuni rumah. "Mungkin perampok itu kenal dengan pembantu baru Pak Yanto. Pembantu itu baru bekerja sebulan," kata seorang warga yang tak mau disebutkan namanya.

Segera Sahkan UU Perlindungan PRT

Aktivis yang tergabung dalam Koalisi 15 Februari menggelar aksi damai di Bundaran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Mereka mendesak pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). PRT rawan mengalami kekerasan dan tidak terpublikasikan.

Koalisi itu terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Legal Resource Centre untuk Keadilan Jender dan HAM, LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), Perisai, Perdikan, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia.

Koordinator Koalisi, Yani, menyebutkan, berdasarkan data pendampingan Perisai, kekerasan yang dialami PRT di Kota Semarang naik setiap tahun. Tahun 2009, ada lima kasus yang terpublikasikan dan pada 2010 jumlahnya naik menjadi 20 kasus. Jumlah itu belum termasuk kasus yang dialami anak-anak perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga.

Karena itu, Koalisi 15 Februari mendesak UU PRT segera disahkan oleh DPR, dan kemudian dijabarkan dalam peraturan daerah perlindungan PRT di daerah.

PRT yang Tak Seindah Novelnya
Sabtu, 15 Januari 2011 | 03:49 WIB
Dibaca: 187
INDRA TRANGGONO
Iyem, Turah, Karti, Bejo, Darman, Lasimin, atau siapa saja nama yang umumnya dimiliki pekerja rumah tangga itu selalu dikenang dengan penuh rasa kehilangan justru ketika mereka tidak ada. Misalnya ketika mereka mudik Lebaran.
Para Tuan dan Puan—keluarga menengah dan atas yang mempekerjakan mereka—pun akan pontang-panting mengatasi persoalan domestik: dari mencuci, menyapu, belanja, memasak, hingga soal tetek bengek lainnya. Ketika disergap pelbagai pekerjaan rumah tangga itu, para Tuan dan Puan bisa merasakan betapa beratnya beban yang menindih pekerja rumah tangga (PRT) selama ini. Apa yang dialami PRT ternyata sesungguhnya adalah transfer penderitaan dari seorang juragan.
Para Tuan dan Puan pun dapat merasakan betapa tingginya komitmen, integritas, dan kapabilitas para PRT itu. Betapa mulianya mereka. Mereka selalu menjawab ”sendiko dhawuh”, ”inggih” atau ”iya” ketika sejumlah pekerjaan disodorkan. Namun, itu pun belum cukup. Tak jarang para Tuan dan Puan memberikan ”bonus” umpatan dan pukulan terkait pelayanan yang kurang memuaskan.
Dalam rajaman berbagai bentuk kekerasan itu, para PRT tetap bertahan dengan ketangguhan fisik dan jiwa yang luar biasa. Penderitaan justru menciptakan kesabaran. Kesabaran pun mengkristal menjadi kesunyian yang perkasa dan panjang.
Relasi humanistik
Nasib PRT tidak seberuntung para pembantu dalam karya fiksi para sastrawan dan sineas. Sebut saja tokoh Pariyem (Pengakuan Pariyem prosa lirik Linus Suryadi AG), Inem (film Inem Pelayan Seksi karya sutradara Nya Abbas Acub), dan Mister Rigen (kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Umar Kayam).
Pariyem diangkat menjadi bagian penting dari keluarga kelas menengah (priayi) Jawa. Ia pun diakui sebagai ”menantu gelap” oleh sang majikan setelah ia mengandung bayi dari hubungan gelap dengan Ario Admojo, anak sang majikan. Tokoh Inem bernasib serupa: kawin dengan laki-laki kaya, seorang pengusaha yang terpesona pada kecantikan dan keseksian tubuh Inem.
Sementara Mister Rigen beruntung memiliki majikan bernama Pak Ageng, seorang dosen senior bergelar profesor dan doktor. Pak Ageng adalah sosok priayi agung yang ideal: baik hati dan loma (pemurah), tidak hanya dalam soal materi, tetapi juga ilmu. Selain itu, Pak Ageng juga selalu ngajeni uwong (menghargai manusia). Ia selalu membangun relasi dengan wulu cumbu (orang yang dicintai)-nya penuh cinta kasih. Bagi sosok ini, tak ada konsep liyan (the other) dalam memandang Mister Rigen, melainkan kekerabatan atau kekeluargaan.
Babu dan ”batur”
Sebelum predikat PRT, sebelumnya telah ada sebutan babu, bedinde, dan batur dengan pengertian serupa. Istilah PRT sejatinya bukan merupakan eufemisme atas istilah-istilah lama itu, melainkan predikat yang menyejajarkan pekerjaan PRT dengan jenis-jenis profesi lain.
Menjadi PRT pun mesti memenuhi tiga syarat pokok profesionalitas: komitmen, integritas, dan kapabilitas. Hasil kerja PRT pun terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
Predikat babu dan batur punya sejarah yang berbeda. Dua istilah itu lahir dari posisi yang dependen. Dalam kultur Jawa, hal itu terkait dengan tradisi ngenger (numpang hidup dengan cara mengabdi). Maka, seorang pembantu biasa juga disebut abdi yang analog dengan konsep abdi dalem dalam sistem kekuasaan feodal (kerajaan) di Jawa.
Menurut Kiai Ancol dalam bukunya, Merdesa (Pusat Dokumentasi Guntur Jakarta: 2008), istilah babu (artinya ibu) lahir dari seorang perempuan pribumi yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dalam keluarga China peranakan yang dinikahi oleh sang juragan. Sementara batur berasal dari bahasa Jawa yang artinya teman atau pembantu.
Dalam perkembangannya, istilah babu atau batur berstigma buram seiring dengan pelembagaan nilainya yang memosisikan para pelakunya sebagai manusia-manusia (yang ter) tersubordinasi. Secara salah kaprah, batur dan babu cenderung dimaknai sebagai ”orang rendahan”, ”pesuruh”, ”jongos”, ”gedibal”, dan berbagai predikat lain yang merendahkan. Seiring dengan makin menguatnya gerakan hak asasi manusia, istilah-istilah buram itu pun mulai tergantikan dengan kata yang lebih egaliter, modern, dan profesional: pekerja rumah tangga.
Para pengguna jasa PRT tidak bisa lagi bersikap sewenang-wenang karena PRT punya hak- hak profesional yang harus dipenuhi.
Dengan perubahan istilah hingga status sosialnya dari babu/batur ke PRT, semestinya berubah pula nasib para PRT. Namun, dalam praktiknya tidaklah demikian. Masih kerap terjadi eksploitasi dan berbagai tindak kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, dan ekonomis.
Mungkin nasib para PRT belum seberuntung tokoh Pariyem, Inem, atau Mister Rigen dalam jagat fiksi. Namun, minimal saya membayangkan, relasi antara Pak Ageng dan Mister Rigen yang egaliter, demokratis, berkeadilan, kuyup kasih sayang dan solidaritas itu bisa dijadikan inspirasi dalam membangun relasi antara PRT dan pengguna jasa PRT.
Tugas kebudayaan ini bukan hanya ada pada pemerintah, tetapi juga mereka yang menggolongkan dirinya juragan.

Tidak ada komentar: