JAMBI GLOBAL BY:TONI SAMRIANTO
RENDAHNYA mutu pendidikan di Indonesia umumnya, dan di daerah Jambi khususnya selalu menjadi sorotan banyak pihak. Salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan di antaranya dikaitkan dengan rendahnya kesiapan dan output dari para lulusan dalam memasuki dunia kerja, apalagi untuk kondisi saat ini, dimana daya serap lapangan pekerjaan masih terbatas.
Kurangnya implimentasi ilmu pengetahuan yang diperoleh para lulusan dalam memecahkan masalah yang timbul dalam kehidupan, berikut masih kecilnya persentase lulusan yang dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, seperti hasil SMPTN belum lama ini, hampir 40 persen tidak lulus untuk ukuran perguruan tinggi (PT) lokal, bagaimana PT tingkat nasional?
Apalagi, bila dikaitkan dengan perubahan paradigma dari implementasi kebijakan otonomi daerah selama ini, sejatinya sektor pendidikan menjadi hal utama yang harus menjadi perhatian serius banyak pihak, terutama pemprov dan pemkab/pemkot, dunia usaha, dan satuan pendidikan, baik warga, komite sekolah dan lembaga pendidikan itu sendiri melalui pemberdayaan warga masyarakat dengan meningkatkan partisipasi publik secara terus menerus.
Dalam hal ini, partisipasi masyarakat menjadi kata kunci yang harus diberdayakan. Salah satu upaya tersebut, dengan mewadahi peran serta masyarakat di bidang pendidikan dengan mengakomodasi pandangan dan aspirasi mereka, sehingga agenda peningkatan kualitas pendidikan di daerah menjadi agenda utama.
Dalam konteks tersebut, peran dan fungsi Dewan Pendidikan (DP) sebagai wadah aspirasi masyarakat pendidikan dan komite sekolah (KS) sebagai implimentasi dari peran serta warga, dalam hal ini wali murid menjadi signifikan untuk dipersoalkan. Sebagaimana amanat Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan.
Guna merespons kebutuhan tersebut, seiring dengan dinamika bermasyarakat di daerah, maka pada 5 November 2005 dibentuklah Dewan Pendidikan Provinsi Jambi melalui mekanisme dan prosedur yang diatur melalui musyawarah pemilihan, yang terdiri atas beragam latar belakang, tokoh pendidikan, baik kalangan akademisi maupun organisasi kependidikan, lsm, pers, lintas profesi, agama, dan organisasi sipil termasuk kalangan pelaku usaha melalui SK Gubernur Jambi Nomor: 391 Tahun 2005.
Secara strategis, DP maupun KS memiliki peran dalam mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan, meningkatkan tanggung jawab dan peran serta penyelenggaraan pendidikan, dan mendorong terciptanya transparansi, akuntabilitas, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini, berarti penyelenggara pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab banyak pihak di antaranya; (i) pemerintah provinsi,(ii) pemerintah kabupaten/kota, (iii) pihak sekolah, (iv) orang tua murid/masyarakat, dan, (v) stakeholders pendidikan (organisasi profesi, alim ulama, lsm, pengusaha, dll).
Dalam konteks fungsinya, baik DP maupun KS di antaranya; (i) sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan, (ii) sebagai pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, (iii) sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) dengan masyarakat.
Sementara perannya, (i) mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, (ii) melakukan kerjasama dengan masyarakat, pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, (iii) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dari berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
Diakui atau tidak diakui selama ini, fungsi dan peran DP dan KS memang relatif belum optimal, apalagi dalam konteks memerankan sebagai pendukung dan pemberi pertimbangan kebijakan. Bila dilihat dari satu periode ke belakang, tidak optimalnya peran tersebut, di antaranya karena: (i) belum satu persepsinya leading sector, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Provinsi, bahkan kepengurusan DP Nasional hingga saat ini masih belum dikukuhkan, Diknas lebih mempersepsikan DP tidak lebih sebagai ‘alat justifikasi’ untuk pembenaran kinerja, sehingga kurang menerima gagasan apalagi kritik, (ii) posisi penganggaran DP yang masih disatukan dengan Diknas, sehingga kinerja DP menjadi tidak terukur. Masalahnya pengendalian dan penganggaran tidak pernah melibatkan DP, namun bukan berarti DP tidak bisa berbuat.
Akan tetapi ke depan, posisi dan peran tersebut kiranya dapat lebih dioptimalkan dengan mereposisi DP tidak menjadi bagian leading sector, terutama pada level anggaran, menyatukan persepsi bahwa agenda bersama stakeholder menjadi tugas utama para pihak sesuai fungsi dan tugas masing-masing, sehingga satu dengan lainnya tidak terkooptasi, dengan memberikan keleluasaan untuk berkiprah sesuai wilayahnya masing-masing. Selain itu, DP juga harus mampu menggalang kerja sama, terutama dunia usaha dan masyarakat satuan pendidikan untuk menggerakkan partisipasi publik dalam pemajuan pendidikan di daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar