Mengurai Kemacetan Jambi
Kemacetan Jambi yang memang belum separah kemacetan di Ibu Kota Jakarta sudah membuat kondisi Jambi terlihat semrawut. Kondisi ini juga diperparah dengan tata kota Ibu Kota Provinsi Jambi (baca: Kota Jambi) yang tidak memiliki grand design pengembangan dan pengelolaan tatakota dan pemerintahan yang baik dan jelas. Sehingga hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan tata ruang di Provinsi Jambi.
Kesemua itu sudah barang tentu memiliki sebab-musabab yang menyebabkan Jambi menuai masalah kemacetan. Hemat penulis, penyebab kemacetan Jambi sejauh ini adalah karena diakibatkan oleh dua permasalahan utama.
Masalah tersebut yang pertama adalah masalah struktural yang secara sistem dapat menimbulkan efek domino terhadap pembangunan dan pengembangan tatakelola pemerintahan dan tataruang perkotaan. Masalah kedua adalah masalah kultural.
Masalah Struktural
Langkah Pemerintah Provinsi Jambi (baca: Gubernur) mengambil alih dengan upaya memberikan solusi atasi kemacetan Jambi merupakan langkah yang positif. Akan tetapi, berbagai persoalan dan permasalahan yang pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya tidak sepatutunya terulang kembali.
Jambi dengan potensi sumber daya ekonomi tinggi yang belum sepenuhnya tergarap dengan baik membutuhkan kebijakan yang integral dan menyentuh akar permasalahan agar efektif mengurai kemacetan yang mulai menjadi keseharian warga Jambi dan dapat menjadi benchmark bagi kota atau wilayah di Sumatera yang juga akan mengalami nasib yang sama mengenai ihwal kemacetan ini.
Masalah struktural pertama adalah tidak meratanya pembangunan Kota Jambi. Sebab, selama ini pemerintah hanya terfokus pada pembangunan di tiga titik ruang, yakni Pasar, kawasan Sipin dan Thehok. Sehingga daerah tersebut menjadi pusat permasalahan di Jambi. Padahal kawasan pinggiran Kota juga layak mendapat perhatian dan sentuhan pembangunan, sehingga tercapai keadilan terhadap pembangunan yang berbasis kewilayahan.
Dampak dari tidak meratanya pembangunan ini adalah menimbulkan berbagai permasalahan yang kerap mendera warga setempat, diantaranya adalah banyaknya tumpukan sampah, mampetnya drainase yang kemudian menimbulkan banjir dadakan dimusim penghujan. Ini semua bisa terjadi dikarenakan penumpukan basis kawasan pembangunan dan akhirnya menjadikannya sebagai pusat aktivitas masyarakat (ekonomi: bisnis, perdagangan dan sebagainya).
Masalah struktural kedua adalah soal perpakiran. Kebijakan sterilisasi dan penertiban perparkiran di bahu jalan mendesak harus segera dilaksanakan. Lahan parkir yang tidak layak ditempatkan selama ini juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kemacetan di Jambi.
Parkir di bahu jalan kawasan Jelutung contohnya (tepatnya kawasan pasar Hongkong) merupakan biang kemacetan yang selalu mendera warga Jambi tiap hendak berangkat kerja dan ke sekolah pagi hari.
Tidak hanya kawasan pasar Hongkong, tetapi juga penertiban parkir yang tidak memenuhi standar kelayakan dan kenyaman pengguna jalan lain juga terjadi di kawasan sipin hingga tugu juang dan kawasan Jalan Arif Rahman Hakim (baca: kawasan SMA N 5 Jambi) serta kawasan Broni (baca: SD Al-Falah).
Namun, jika ini tidak dilakukan penertiban dan pembenahan mengenai lahan parkir, maka dengan penambahan jumlah kendaraan bermotor baik kendaraan bermotor roda dua maupun mobil hanya akan memperparah kondisi kemacetan di jalan-jalan utama tempat menuju aktivitas keseharian warga Jambi.
Masalah struktural ketiga adalah masalah rusaknya jalan aspal. Jalan yang baik dan bagus akan mempermudah akses menuju tempat-tempat aktivitas. Namun, selama ini jalan yang rusak parah ditambah dengan genangan air hujan yang mengendap berhari-hari dalam kubangan badan jalan juga menjadi masalah penyebab timbulnya kemacetan. Tidak sedikit mobil yang terbenam dan tidak bisa keluar dari lubang yang mengakibatkan antrian panjang akibat badan jalan terpakai oleh kendaraan yang terbenam.
Barangkali inilah yang secara struktural menyebabkan kemacetan di Jambi. Selain kemacetan yang disebabkan oleh masalah-masalah struktural, penulis juga melihat adanya masalah kultural yang dapat menimbulkan kemacetan di Jambi.
Masalah Kultural
Masalah kultural hemat penulis juga ikut berperan dalam kemacetan di Jambi. Masalah kultural pertama adalah budaya bebas tanggungjawab. Budaya bebas tanggungjawab yang penulis maksud adalah budaya tidak mau disalahkan dan selalu merasa benar tehadap semua tindakan yang telah dilakukan. Sebagai contoh, ketika ditanya siapa yang bertanggungjawab atas kemacetan yang disebabkan oleh kesemrawutan parkir dalam kota ? Mereka yang memiliki kepentingan saling lempar tanggungjawab.
Petugas parkir akan menyalahkan pengendara kendaraan bermotor karena parkir sembarang. Masyarakat awam akan menyalahkan petugas parkir yang ada di lapangan karena tidak bisa mengaturnya.
Sedangkan masyarakat yang berpendidikan akan mengatakan bahwa pemerintah telah salah dalam mengelola perparkiran dan salah membuat tataruang yang baik. Pemerintah (walikota) akan menyalahkan SKPD yang menangani masalah tersebut, sebab dianggapnya merupakan bagian dari tugas dan tanggunjawabnya.
Begitu seterusnya, sehingga masalah tersebut hanya bermuara kepada perdebatan panjang siapa yang patut disalahkan dan tidak ada yang mau bertanggungjawab atas kelalain pengelolaan tatakota dan tataruang yang menyebabkan kemacetan, sehingga minim aksi, minim solusi atasi kemacetan Jambi.
Masalah kultural kedua adalah masalah disiplin dan tertib berlalu lintas. Kemacetan di Jambi dalam pengamatan penulis juga disebabkan oleh keengganan pengguna sepeda motor baik roda dua maupun empat untuk dapat tertib berlalu lintas. Pengendara saling mendahului ketika terjadi antrian, parkir di sembarang tempat dan terkadang enggan untuk mengikuti aturan lalu lintas yang sudah diatur oleh petugas parkir dan Polantas. Sehingga kesemrawutan kendaraan inilah menyebabkan kemacetan.
Untuk menghindari kemacetan yang memprihatinkan masyarakat Jambi ini pun pemerintah memberikan tawaran sebagai solusi alternatif yang mungkin dapat mengurangi kemacetan di Jambi.
Fly Over: Sebuah Solusi?
Dahulu penulis sering berseloroh dengan teman-teman dengan mengatakan “jika aku menjadi Gubernur minimal pejabat walikota, maka yang akan aku bangun adalah jalan layang yang menghubungkan Telanai Pura – Kota Baru.” Gurauan tersebut kini dipakai oleh Pemerintah Jambi untuk mengantisipasi terjadinya kemacetan total (grid-lock).
Sehingga, pemerintah Provinsi Jambi pun mewacanakan pembangunan fly over sebagai solusi yang dianggap efektif untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Provinsi ini. Namun, sejauh mana keefektifan fly over ini dalam meredam kemacetan dalam kota .
Hemat penulis, fly over memang bisa dijadikan sebagai sebuah solusi. Namun, solusi tersebut barang kali hanya bersifat jangka pendek bilamana tataruang dan tatakota Jambi tidak dibenahi secara baik dan Jambi sebagai Ibu Kota Provinsi tidak memiliki perencanaan tataruang yang baik serta memiliki grand design dalam mengelola tatakota dan tataruang.
Oleh karena itu, penulis beranggapan perlu adanya blue print pembangunan dan pengembangan kewilayahan yang jelas dan bijak sehingga tidak terkesan asal-asalan dalam mengelola dan merencanakan tataruang bagi Jambi sebagai Ibu Kota Provinsi.
Sebab, pada era sekarang, tidak terlihat adanya perencanaan pembangunan yang yang didasarkan kepada perencanaan pembangunan jangka panjang. Apabila pembangunan Jambi memiliki perencanaan yang baik, hemat penulis fly over bisa menjadi bagian dari solusi untuk atasi kemacetan Jambi kedepan. Namun, bilamana tidak, maka fly over hanya akan menjadi masalah baru bagi masyarakat Jambi dan tataruang serta tatakota di Jambi.
Akhirnya penulis berpendapat judul Cover Story dalam harian pagi Jambi Ekspres (edisi 16 Oktober 2010, hlm. 5) Macet Jadi Biang Kesemrawutan hemat penulis belum tepat. Hemat penulis judul yang tepat dengan melihat kondisi kemacetan Jambi adalah Kesemrawutan Tataruang dan Tatakota Jambi Biang Kemacetan. Wallahu A’lam bi al Shawab…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar