Locations of visitors to this page JAMBI GLOBAL: Satria Muhdi Maulana, Mahasiswa Jambi yang Pernah Ajar Pramuka di Amerika

Kamis, 14 Oktober 2010

Satria Muhdi Maulana, Mahasiswa Jambi yang Pernah Ajar Pramuka di Amerika

JAMBI GLOBAL BY:TONI SAMRIANTO
“Anak-anak Amerika Jarang Mandi”

Satria Muhdi Maulana (21), mahasiswa Unja FKIP Bahasa Inggris, berhasil mengikuti program International Camp Staff Program Boys Scouts of Amerika. Juni 2010 lalu, dia diberangkatkan ke negeri Paman Sam. Tugasnya menjadi pengajar bagi pramuka setingkat SD setempat. Berikut penuturannya.

“Because it makes animal disturbed, when they sleep (Karena itu bisa mengganggu binatang ketika mereka sedang tidur),” ungkap Satria (21), saat berkunjung ke Jambi Independent, kemarin (13/10) sore.

Jawaban itulah yang hingga saat ini masing teringat oleh Satria ketika dia mengajar pramuka pada anak-anak sekolah dasar di South Dakota, Amerika Serikat. Saat itu, dia menanyakan mengapa murid-murid tersebut dilarang untuk berisik saat malam hari.

“Saya sangat kagum, karena ternyata di Amerika anak SD sudah bisa mengerti cara mencintai lingkungan mereka,” ujar pria berambut ikal itu.

Satria mengaku, tak pernah terbersit di benaknya bisa memijakkan kaki di negeri Paman Sam tersebut. Apalagi untuk mengajar di sana. Namun keinginannya terkabul ketika dia memberanikan diri mengikuti seleksi International Camp Staff Program Boys Scouts Of Amerika pada Desember 2009 lalu.

Setelah lolos seleksi daerah, dia mesti mengikuti seleksi nasional di kantor Kwartir Nasional, Jakarta. Tak disangka, pada Februari 2010, dia termasuk empat mahasiswa yang lulus tes dan akan diberangkatkan ke Amerika Serikat.

Akhirnya, awal Juni 2010, putra pasangan Muhtar dan Muslida itu diberangkatkan ke Amerika. Setelah melalui perjalanan 12 jam dan berganti-ganti pesawat, dia bersama tiga rekannya tiba di Bandara Siux Fall. Perjalanan terus berlanjut. Selama dua jam, dia melewati perkebunan gandum dan jagung penduduk menuju Lewis & Clark Scout Camp, tempat mereka bertugas.

Kedatangan Satria ke sana hanya sendiri, karena ketiga rekannya yang lain ditempatkan di daerah berbeda. Kedatangannya ke Amerika pun terlambat satu minggu. Karena ada permasalahan saat mengurus visa di Kedubes Amerika.

“Di sana saya harus benar-benar bisa menyesuaikan makanan, karena menu yang ada hanya untuk orang Amerika saja,” ungkap pria itu, mengenang. Menu yang ada hanya berupa roti, sereal, salad dan pasta.

Kawasan tempat mereka berkemah terletak di tepi Sungai Missouri, berbatasan dengan Negara Nebraska. Tempat untuk tenda terletak di atas bukit, sedangkan kegiatan di lembah. Sehingga, setiap hari Satria perlu tenaga ekstra untuk naik turun bukit.

Diceritakannya, terdapat 20 tenda pembina di base camp, dimana satu tenda bisa memuat dua orang. Sedangkan untuk murid, terdapat puluhan tenda yang menampung ratusan murid SD. Berbeda dengan tenda di Indonesia, di sana, tenda pembina dilengkapi listrik, beralaskan papan dan memiliki tempat tidur dan kasur busa.

Selama delapan minggu di South Dakota, anak pertama dari tiga bersaudara ini diprogramkan mengajar kepramukaan dan budaya. Untuk pramuka, yang dia ajarkan seperti tali-temali, kemah, hiking dan kerajinan tangan khas Indonesia.

Siswa yang diajarkannya memang tak banyak, hanya 10–20 anak, tergantung jumlah siswa yang dikirim setiap minggu. “Antusias mereka sangat besar, rasa ingin tahu juga besar,” ujar Satria.

Anak-anak yang diajarkan Satria di sana memiliki postur badan besar, tinggi mereka rata-rata 170 sentimeter, namun watak dan kelakuannya tetap mencerminkan anak-anak. Kreativitas mereka sangat tinggi, seperti ketika diajarkan anyaman bambu, mereka memiliki kreasi anyaman sendiri. Ketika diajarkan mengukir tulisan pada kulit, mereka juga punya pola tersendiri.

Puluhan pertanyaan langsung terlontar ketika dijelaskan mengenai kebudayaan Indonesia. Seperti ragam kebudayaan, keadaan geografis, penduduk dan pekerjaan. Para siswa SD tersebut sangat penasaran dengan cara membuat rumah adat dan pakaian adat. Karena bentuknya yang unik, dan terkesan dari bahan alami.

“Kebetulan saat itu saya membawa buku tentang Indonesia, baju batik dan uang Indonesia, saya tunjukkan kepada mereka,” jelas Satria, tersenyum.

Menariknya, anak-anak didiknya, tak segan-segan mengeluh ketika mereka menemukan hal yang menurut mereka salah.

Seperti tidak adanya tisu di toilet serta kurangnya kelengkapan praktek yang mengakibatkan mereka harus antre hingga lama. Tetapi diakui Satria, perlengkapan pramuka di Amerika jauh lebih maju. Karena, di sana mereka memiliki alat belajar jet ski, perahu dan juga perlengkapan air lainnya.

Hal yang paling membuat terkejut Satria selama di sana, adalah dirinya baru mengetahui jika orang Amerika tidak mempedulikan mandi. Dalam sehari, mereka bisa mandi hanya sekali atau bahkan dua hari sekali.

“Pertama-tama tidak bau, namun menjelang minggu terakhir, bau badan mereka tercium juga,” ujarnya sembari tertawa.

Tidak ada komentar: